Skip to main content

Wild Chef: Gudang Pangan Yang Melimpah di Sungai & Hutan Ulayat Suku Dayak Berusu, Kalimantan Utara



Ada yang tercecer rupanya berkaitan dengan trip Jejak Petualang Wild Fishing (JPWF) ke Kalimantan Utara bulan Mei lalu dan baru malam ini teringat dan ternyata belum dituliskan di blog iseng ini. Yaitu mengenai kearifan lokal masyarakat terkait pemanfaatan alam mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan, dan secara lebih ‘sempit’ lagi adalah dalam memanfaatkan alam mereka untuk membuat kuliner khas setempat. Sejak pertama kali memasuki wilayah hulu sungai dan hutan ulayat Suku Dayak Berusu di bagian hulu, dua hari perjalanan dengan menggunakan perahu, saya melihat kesan kuat betapa melimpahnya bahan pangan yang tersedia di hutan dan di sungai mereka. Karena apappun yang mereka inginkan dapat ditemukan disana dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ketika mereka menginginkan daging binatang buruan semisal rusa, tidak sampai satu jam masuk hutan, mereka sudah kembali dengan rusa besar yang bahkan dagingnya tidak akan habis selama seminggu (rombongan kami terdiri dari total 20 orang). Ketika ingin makan ikan, tinggal tebar jala sebentar di dekat camp dan ikan-ikan yang bagi pemancing prestisisus sudah mereka dapatkan. Sudah begitu, bukan sedikit dapatnya tetapi cukup banyak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk seluruh rombongan. Hal yang kurang lebih sama terjadi juga ketika mereka menginginkan sayur-sayuran, buah-buahan dan juga bahan pangan karbohidrat lainnya (singkong, ubi, talas, dan lain-lain). Menjadi menarik, eksploitasi potensi ini sebenarnya minim dilakukan. Karena mereka hanya mengambilnya hanya ketika sedang ‘mudik’ atau pulang kampung ke wilayah leluhur mereka saja, inipun tidak tentu waktunya. Hampir tidak ada pemanfaatan potensi, terutama perairan tawar, untuk alasan ekonomi (baca: mengambil ikan skala besar dan konstan untuk dijual).

Sayangnya foto-foto yang saya rekam berkaitan dengan melimpahnya bahan pangan dan perlakuan mereka menjadi kuliner khas Dayak Berusu kurang lengkap. Tetapi akan saya coba sarikan, setidaknya berkaitan dengan cara memasak bahan dan juga bumbu-bumbu dari hutan yang mereka pakai untuk memasak sesuatu selama berada di dalam hutan menemani kami. Pertama adalah perlakuan terhadap bahan pangan berupa ikan-ikan air tawar yang diambil dari sungai. Habitat hulu sungai warga Berusu memang masih sangat terjaga, ikan upper river sangat mudah ditemukan dan size-nya pun besar-besar. Spesies yang menjadi favorit adalah ikan sapan/pelian/mahseer, ini adalah ikan bergengsi sungai pegunungan berarus deras. Di kalangan pemancing banyak dicari karena memiliki prestise yang tinggi. Di kalangan penikmat kuliner dicari karena memiliki rasa daging yang sangat manis! Bukan hanya itu saja ada banyak ikan lainnya seperti barop/hampala. Klawor/kalui, mendalom/baung, dan lain-lain. Cara masaknya sangat mendasar, dan dilakukan lebih karena tidak mau kehilangan rasa asli daging ikannya, yakni hanya dengan cara dibakar langsung di api (dengan cara ditusuk atau dijepit/ditagar) atau di dimasukkan ke dalam bambu. Ikan sapan/pelian/mahseer menjadi rebutan seluruh rombongan karena memang rasa dagingnya super nikmat. Kami menikmatinya dengan gratis sembari saya teringat di restoran-restoran Singapura ikan ini per kilogram dihargai tiga juta rupiah lebih! Rupanya para tengkulak Singapura dan Malaysia ada yang pernah memasuki wilayah ini untuk mencari ‘dagangan’ ikan sapan ini, hebatnya warga menolak. Lebih baik kami makan sendiri daripada kami kirimkan ke negara lain, begitu penuturan beberapa warga saat itu. Salut!

Berikutnya tentang bumbu-bumbu masakan yang berasal dari hutan. Layaknya kita yang tinggal di dunia ramai (anggaplah daerah perkotaan ataupun pedesaan yang sudah mapan), masyarakat Dayak Berusu juga sudah menggunakan bumbu-bumbu umum untuk masak memasak; garam, cabe rawit, dan apapun itu bumbu lainnya. Desa mereka saat ini sudah berada di tepian jalur utama antara Tanjung Selor – Malinau (Dayak Berusu direlokasi dari hutan pedalaman tahun 1970), lalu lintas dan distribusi barang sudah cukup mapan meski secara volume masih terbatas. Namun ketika kami masuk hutan, memang kemudian ada kerinduan pada warisan leluhur mereka terkait kuliner ini. Bumbu buah lempasu menjadi pilihan utama ketika mereka ingin memasak ikan dengan cara masak kuah. Buah lempasu ini bentuknya bulat putih kalau sudah tua, dan hijau serta ungu saat masih muda. Rasanya asam, bisa dikonsumsi langsung saat sudah tua meski kalau kebanyakan kita akan sakit perut. Buah ini jika disandingkan dengan ikan akan menghasilkan kuliner sejenis kuah asam, tetapi memang rasa asam-nya sangat khas. Daging buahnya sendiri bisa sekaligus menjadi sayuran dengan rasa yang menyerupai labu tetapi teksturnya mirip dengan tekstur ubi jalar yang tua. Rasa olahan ikan kuah asam dengan buah lempasu ini menurut saya, enak! Hahaha!

Terakhir adalah ketika kami kemudian membuat dokumentasi masak dengan cara bakar di dalam bambu. Ikan yang diambil dari sungai tetap menjadi bahan utama, dengan cara dipotong kecil-kecil dan kemudian juga dibumbui dengan garam dan bumbu dapur lainnya. Yang unik adalah bumbu utama yaitu daun muda serta bunga tekalo (kecombrang/honje). Bunga dan daun muda tekalo ini akan diiris kecil-kecil, kemudian dicampur dengan bahan masakan lainnya, sebagian lagi daun tekalo akan dijadikan sebagai penutup bambu. Semua bahan kemudian dibakar di atas api yang dinyalakan sedang agar bambunya tidak hangus. Rasa olahannya, ada semacam pedas dan asam yang menjadi satu, meresap ke dalam semua bahan yang dibakar di dalam bambu. Secara umum rasa olahan dengan dibakar di dalam bambu muda ini menurut saya lagi-lagi, juga enak! Hahaha! Pada akhirnya, makanan memang mampu menyatukan masyarakat dengan beragam latar belakang yang berbeda. Selain warga keturunan Dayak Berusu, kami juga ditemani warga dari keturunan Dayak Punan. Di tim JPWF sendiri ada yang Ambon, Jawa dan Sunda. Tetapi kalau sudah menyangkut kuliner, semua duduk manis sambil khusyuk mengisi perut dengan ‘desis’ nikmat lupa kiri kanan!









* Pictures taken on May 2015 by me. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!

Comments