Demi Indonesian Black Bass dan Spesies Lainnya: Mari Sama-sama Berhitung Efek Catch & Release dan atau Sebaliknya Terhadap Spesies Ikan yang Tergolong Langka

Beberapa foto di postingan ini adalah capture-an dari file video gopro yang saya ambil pada bulan Oktober lalu di sebuah sungai di Pulau Sulawesi. Saya berpikir jika file videonya yang saya taruh akan sangat berat di playback oleh rekan-rekan dengan koneksi internet pas-pasan. Host Jejak Petualang Wild Fishing sedang melakukan catch and release ikan black bass (black snapper, somasi hitam, kakap raja, nain). Pada awalnya saya akan memasang foto diri saya sendiri yang pas-pasan ini tetapi saya urungkan takutnya yang akan membaca ‘catatan panas’ ini kabur duluan lihat muka saya. Hehehehe! Ikan Lutjanus goldiei yang meski secara habitat terdapat di seluruh perairan payau Indonesia, tergolong dalam ikan yang mulai sulit didapatkan. Oleh karenanya menjadi spesies yang sangat bergengsi karena cukup langka dan juga karena memiliki fighting ability yang luar biasa! Di Indonesia spesies ini pertama kali kondang di jagat mancing setelah Dudit Widodo, waktu itu tahun 2009, melakukan ekspedisi besar ke sungai-sungai di Halmahera Utara. Baru kemudian digelar beragam ekspedisi lainnya ke Papua Indonesia oleh beberapa pemancing. Kini kemudian, setelah banyak sekali rekan-rekan pemancing melakukan usaha dengan melakukan trip-trip yang spesifik, kita mendapatkan pemahaman ternyata ikan ini terdapat di seluruh perairan payau (dan juga tawar) kita. Di dunia internasional ikan ini seringnya disebut dengan nama Papuan black bass, dan kita sendiri sempat kemudian ikut-ikutan menyebutnya demikian, karena para peneliti perikanan dari Barat tersebut hanya melakukannya di perairan payau di Papua PNG, sehingga kemudian disebut Papuan black bass. Baru beberapa tahun kemudian, setelah melihat berbagai spot terbaik perairan payau kita, saya memahami bahwa salah jika kita ikut-ikutan menyebutnya Papuan black bass, kecuali untuk yang kita dapatkan di Papua Indonesia. Saya kini lebih suka menyebutnya Indonesian black bass, karena nyatanya terdapat di seluruh perairan payau kita yang masih sehat. Secara pribadi saya sendiri pernah melihat dan mendapatkannya sendiri di Kalimantan, Sulawesi, Papua Indonesia, Pulau Halmahera. Belum yang didapatkan oleh para pemancing lain di Ujung Kulon Banten, Sumatra, Pulau Lombok, Pulau Nias dan lain sebagainya. Yang artinya, adalah sudah semestinya jika kita menyebutnya dengan nama Indonesian black bass, dan bukannya ikut salah kaprah dengan para ilmuwan perikanan Barat yang bias tersebut dengan hanya menyebutnya Papuan black bass. Kalau kita jeli mengamati fish base di beberapa situs internasional, bahkan nama Indonesia tidak disebut dalam wilayah persebaran ikan ini!
Kita kembali lagi ke masalah catch and release. Membicarakan hal ini, pemancing sportfishing harusnya tahu apa maksudnya, tetapi tak apalah jika saya ingatkan. Catch and release adalah semacam etika di dunia sportfishing yang berbentuk melepaskan kembali ikan-ikan hasil pancingan kita. Di Barat hal catch and release ini malahan sudah menjadi regulasi (peraturan) yang mengikat semua orang. Ada beberapa syarat/kondisi penerapan etika ini. Pertama, ikan yang kita dapatkan sudah terlalu banyak saat itu, sehingga jika itungannya untuk kita konsumsi, sudah lebih dari cukup. Jika kondisinya seperti ini baiknya, jika masih ingin mancing terus saat itu, ikan-ikan yang kita dapatkan kita lepaskan saja supaya masih dapat berkembang biak. Atau kalau bisa ya dihentikan saja mancingnya, istilahnya ini adalah kesadaran 'bag limit', membatasi jumlah tangkapan. Kedua, jika misalnya ikan yang kita dapatkan adalah kategori ikan langka, dan proses perkembangannya sangat lambat. Misalnya saja kalau di laut lepas adalah ikan dalam keluarga billfish (giant trevally, marlin, layaran, swordfish). Kalau di perairan tawar dan payau misalnya, dengan melihat kondisi perairan kita saat ini, misalnya saja ikan tapah (family ikan Wallago), belida, ikan sapan/pelian/gariang/kancra/mahseer (ikan-ikan dalam family Tor) dan ikan black bass yang sudah saya bahas sedikit di paragraf pertama. Masih sangat banyak lagi sebenarnya ikan-ikan kita yang mulai langka dan bahkan ada yang sudah tidak pernah lagi kita lihat keberadaannya di perairan kita. Rekan-rekan lebih paham sebenarnya spesies ikan apa saja yang di daerahnya mulai langka dan menurut saya ini juga layak dimasukkan dalam daftar untuk kita catch and release dan mendapatkan perhatian lebih. Syukur-syukur kita mampu melakukan usaha-usaha mulia lainnya untuk kemudian dilepaskan lagi ke alam liar. Misalnya saja melakukan penelitian, memijahkan dan kemudian melakukan relokasi atau restoking. Dan lain sebagainya.
Melontarkan pembahasan tentang catch and release, dimanapun itu dan oleh siapapun itu di Indonesia, maka orang tersebut kecenderungannya akan menjadi tidak populer (baca: kurang disukai). Karena kultur para pemancing kita apapun tekniknya, apapun club-nya, apapun pendidikannya dan latar belakang sosialnya, kultur yang berlaku dominan masih kurang lebih sama. Yaitu ingin mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya dan sebesar mungkin tetapi masih sangat kecil kesadaran catch and release (dan termasuk juga kesadaran bag limit-nya). Saya tidak mengatakan semuanya seperti itu, tetapi mari kita lihat bersama-sama, apa saya salah menulis? Saya belum buta, meski memang saya bukan orang populer yang keliling kemanapun, tetapi saya melihatnya sendiri dengan sangat jelas, betapa dominannya kultur “pasukan kuras laut” dan “pasukan kuras sungai” yang ada di dunia mancing kita saat ini. Jadi sangat sering yang terlihat dan kemudian menjadi dominan menjadi 'wajah' sportfishing kita adalah, menggelar hasil pancingannya dengan vulgar memenuhi geladak kapal atau cool box atau dimanapun itu, seakan kita nelayan yang dikejar omzet untuk dijual lagi. Makin banyak ‘dagangan’ yang digelar maka menurut banyak pemancing kita adalah ‘keren’! Banyak like dan komentar 'hebat' di media sosial mereka, dianggap jago memancing dan lain sebagainya. Yang memuakkan bahkan sering saya lihat akhir-akhir ini ada yang sampai tidur-tiduran di atas bangkai-bangkai ikan yang memenuhi kapal mancingnya. Bukan satu bangkai ikan, tetapi puluhan bangkai ikan! Ini apa tidak memuakkan? Saya siap untuk tidak populer dengan membahas kembali catch and release, saya sudah berkali-kali membahas ini dan terus akan membahasnya selama saya hidup, meskipun dari dahulu kemudian kehilangan banyak orang yang dahulu menganggap saya teman. Saya tidak keberatan sama sekali, untuk sesuatu yang menurut saya baik, saya tidak keberatan untuk menjadi tidak populer dan kehilangan teman. Sungguh!!! Nah, dalam kondisi kultur seperti sekarang ini, para pemancing Indonesia yang peduli dan terus mengkampanyekan tentang catch and release dan juga bentuk-bentuk konservasi perairan lainnya tak heran jika menjadi para pemancing yang ‘kesepian’ dan kurang dikenal, ada juga yang kemudian diancam dan dikucilkan. Berbeda dengan mereka-mereka yang sering menggelar hasil pancingannya memenuhi geladak kapal dan kemudian hasilnya disebarluaskan kalau perlu ke seluruh RT di dekat rumahnya, mereka menjadi selebritas dadakan dengan tebaran senyum kepuasan. Saya salut dengan nelayan yang bertarung di ganasnya lautan untuk mencari penghidupan, saya tidak bisa membahas ranah nelayan ini secara khusus karena saya pemancing sport, tetapi memang saya tidak respek dengan pemancing sport yang begitu bergaya, berpendidikan di atas rata-rata, penghasilan ekonomi cukup tetapi memiliki mental memancing seperti dia akan mati kelaparan jika tidak membawa semua hasil pancingannya! Lha kalau nelayan jelas, mencari ikan untuk menghidupi keluarga, hidup mati dia dan keluarganya tergantung dengan hasil mancing sang nelayan. Lha kita? Bukannya kita memancing untuk kesenangan, untuk hiburan, untuk rekreasi? Kita angler apa fish killer?
Praktis membahas catch and release dimanapun di Indonesia, kepada siapapun, menjadi sangat ‘panas’ dan alot. Banyak pertanyaan mendasar yang berulang oleh siapapun itu, sialnya kebanyakan malah dari para pemancing juga; misalnya saja kenapa harus dilepas khan sayang, kasihan tahu sudah kita pancing kemudian kita lepaskan, dosa, dan lain sebagainya. Ada yang lebih ngaco lagi dan bahkan menyebut ayat-ayat kitab suci. Ada juga yang asal njeplak dengan kalau memang tidak mau ikan habis dan menjadi langka ya jangan menjadi pemancing! Ada yang melegitimasi keserakahan mereka dengan mengatakan membawa sekapal ikan untuk dibagikan ke fakir miskin. Ini lebih ngaco, karena banyak cara yang lebih elegan dalam beramal bukan? Lagian amal seperti apa yang dilakukan dengan cara sambil merusak lingkungan? Yang pasti saya rasakan sangat sulit memang berbicara dengan orang-orang serakah! Tidak ada yang mau mengerti dan mau mengemban tanggung jawab “bahwa semua yang ada sekarang ini adalah titipan untuk anak cucu kita nantinya”. Semuanya mau menang sendiri! Semoga saya tidak demikian Ya Tuhan! Memang ada para pemancing yang memahami ini, dan saya bersyukur karenanya, tetapi jumlahnya tidak banyak dan itu dia, mereka adalah orang-orang yang tidak populer. Suara-suara para pemancing yang peduli dengan sustainable sportfishing ini seperti hilang ditelan deru keserakahan. Memang berat mengambil sikap peduli, tetapi pesan saya kepada siapapun itu yang peduli dengan kelestarian ikan-ikan kita yang mulai langka, jangan lelah untuk berbuat baik. Mungkin kita tidak akan menikmati hasilnya, tetapi tetaplah teguh. Tidak ada ruginya berbuat baik, di bidang apapun itu! Kembali ke host kami yang melakukan catch and release ikan black bass di sebuah sungai di Sulawesi beberapa bulan lalu. Awalnya sangat sulit bagi saya untuk meyakinkan manfaat catch and release terhadap spesies yang cukup langka tersebut, bukan karena dia memiliki karakter kurang baik, tetapi sebagai seorang newbie di jagat mancing dia memang belum banyak pengetahuan tentang sportfishing. Dan saya merasa harus mengatakan perihal catch and release ini apapun resikonya. Puji Tuhan akhirnya kemudian dia memahami dan melakukannya dengan gembira. Kalau cuma mau makan ikan saja, masih banyak lagi ikan yang populasinya cukup banyak tooo?! Demikian ucapnya dalam logat Maluku yang kental (Chintya Tengens adalah presenter kelahiran Ambon, Maluku). Betuuuul nona?! Disini saya melihat hati dan akal sehat dari seorang pemancing, bukan ego yang harus menang sendiri dan rakus. Saya sering membaca di media sosial, fishing with attitude, yang mana yang kita pilih?! Apa yang dilakukan seorang newbie di Sulawesi inilah yang menginspirasi saya untuk menulis ini, mengingatkan rekan-rekan pemancing yang mungkin telah melenceng menjadi pemancing, agar supaya sadar.
Terus masalah mari berhitung yang saya jadikan judul catatan ini maksudnya bagaimana? Saya tidak akan berpanjang-panjang masalah berhitung ini, karena saya yakin hampir semua pemancing di Indonesia mampu berhitung, karena kalau tidak dia tidak akan mampu membeli peralatan mancing, mau itu yang murah ataupun mahal. Tidak akan bisa dia melakukan trip-trip mancing mau yang dekat ataupun yang skala ekspedisi dengan biaya segunung. Begini saudara-saudara, bayangkan jika kita melakukan catch and release ikan yang kategori langka. Ikan-ikan tersebut otomatis memiliki kemungkinan untuk hidup lebih lama lagi, kemudian akan kawin, dan kemudian memiliki banyak telur dan anak. Konon anak ikan itu bisa ribuan dan bahkan jutaan jumlahnya. Anggap yang hidup dari anak-anak ikan yang induknya kita lepaskan hanya 1% saja, misalnya dari seribu telur, berarti sudah sepuluh ekor anak ikan spesies tersebut hidup dan dapat melanjutkan keberadaan dari populasi keluarganya! Lha kalau jumlah ikan yang kita lepaskan di seluruh Indonesia ini setiap pemancing melakukannya minimal satu ekor langka?! Bayangkan efek positifnya. Kita selalu ada harapan terus melanjutkan hobi sportfishing kita, anak cucu kita juga masih mungkin untuk mengikuti hobi kita? Apa tidak keren?! Terus misalnya kita bisa melihatnya nanti dari tempat kita yang lain, kita semua akan mati, apa kita tidak ikut senang?! Terus sekarang bayangkan jika kita melakukan sebaliknya untuk semua spesies ikan langka, mau itu di laut, di sungai, danau dan dimanapun kita angkat semua demi nafsu serakah kita. Kenapa saya sebut serakah, lha sudah tahu langka masih diangkat dan dibawa pulang untuk dimakan juga bagaimana tidak serakah? Jika kita semua melakukan ini coba kita hitung berapa banyak pemancing di desa, kota, kabupaten, dan propinsi kita?! Anggap semua orang hanya mampu melakukan trip mancing sebulan sekali, kemudian ikan diangkat semua. Bisa bayangkan volume tangkap total yang ada di seluruh Indonesia yang disumbangkan oleh kita yang mengaku pemancing sportfishing yang katanya menekuni recreational fishing ini?! Saya tahu, bukan hanya pemancing yang menyebabkan menurunnya populasi ikan di Indonesia, ada polusi dan overfishing dan cara tangkap ngaco tidak ramah lingkungan lainnya yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi apa karena itu kemudian kita menjadi tidak peduli? Sengaja tidak mendengarkan sisi baik kita? Apa salahnya kita mencoba melakukan hal yang baik yang kita bisa sambil terus menekuni hobi yang kita cintai ini?! Gak ada ruginya bro! Kecuali jika kita merasa rugi kehilangan teman dan menjadi tidak menjadi populer (baca: disukai), kecuali kita merasa rugi jika tidak membawa ikan pulang ke rumah karena sudah keluar ongkos mancing, kecuali kita merasa rugi untuk berbagai hal lainnya. Banyak lagi yang bisa kita bahas dalam catch and release ini, belum lagi misalnya masalah regulasi perikanan di negeri kita. Tetapi baiknya saya akhiri saja dulu sementara ini. Saya menulis ini bukan karena saya orang suci, saya juga makan ikan, saya juga seorang pemancing! Tetapi saya percaya, bahwa ada hal yang bisa kita lakukan dalam menjaga sustainable-nya potensi perairan kita ini! Dan saya memilih untuk mengambil jalan sepi tersebut! Urip iku ibarat mung mampir ngombe, hidup itu ibaratnya hanya singgah untuk minum, kata pepatah Jawa. Pertanyaannya kemudian seperti apakah cara dan etika kita minum? Disini kemudian kita akan belajar tentang ujian, kebijaksanaan, dan syukur-syukur tentang ibadah juga. By the way tulisan tanpa perbuatan sama saja omong kosong, dan Puji Tuhan, saya merasa menjadi bagian dari orang-orang yang terus mencoba peduli dan waras di dunia sportfishing ini. Semoga kita bisa berjumpa dan berdiskusi lebih lanjut dan siapa tahu bisa melakukan berbagai aksi nyata lainnya. Namun jika momen untuk bertemu dan beraksi bersama itu sulit, jangan takut melakukan usaha-usaha mulia untuk perairan kita meski sendirian, dan meski terkadang memang ‘pahit’ menjadi orang yang peduli dengan lingkungan. Stay strong, keep the faith, salam wild fishing!
* Foto-foto merupakan kumpulan behind the scenes dokumentasi Jejak Petualang Wild Fishing Trans7. Kru: me (reporter and angler), Muhammad Iqbal (cameraman), Chintya Tengens (host). Picture taken with Gopro. No watermark on the pictures, but please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with my pictures without respect!!!
Comments
Ijin share link ke postingan ini ya...
Ke KJ lagi yuukkkk ?
Salam tebar & salam lestari .
Mantap bro, mancing mania semakin mantap
Mantap bro, mancing mania semakin mantap
Krn pop culture angler skrg kerjaannya bukan mancingin ikan, tp cari ikan sebanyak2nya + foto sealay2nya buat umpan komen+like di medsos biar populer..
Miss the good 'ol days..when fishing has nothing to do with socmed popularity
--an Angler is not a socmed junkies--
Daripada berpolemik berkepanjangan yang tidak ada mafaatnya, akhirnya saya cuma bilang, "Kalau tidak mau dikritik, waktu posting gambar, kasih saja Note : Tidak terima kritikan, hanya terima pujian". he he he he....
Saya sangat setuju kalau tidak semua ikan harus di Release,saya juga sangat tidak setuju kalau semua ikan di Bantai.
Menurut hemat saya, kita harus bisa membedakan yang mana ikan yang layak di bawa (dikonsumsi) dan yang mana yang sebaiknya di Release. Sederhana saja sebetulnya.
Untuk ikan ikan yang bersifat teritorial dan populasi maupun perkembangan tubuhnya lambat, alangkah baiknya di Release kembali. Atau kalaupun mau di bawa jangan berlebihan. 1 ekor sudah sangat cukup. Sedangkan untuk ikan 2X yang populasinya banyak dan cepat pertumbuhan maupun perkembang biakannya silahkan jadikan target untuk di konsumsi.
Contoh nyata sudah banyak. Kemana para GT di karang beatrix (kupang), Tanjung Sasar (Sumba), Pulau Rondo (aceh), Berau, Lembata. Kemana Amberjack dan Dogtooth yang berlimpah di Bali sekarang ? Ulah siapa ? Nelayan ?...... Bukan...!!!! ulah pemancing. (hobby). Sebagian pemancing berpendapat: kalau kita release, orang lain yang akan ambil. Jadi ngapain di release.
Dari pengalaman saya yang masih dangkal ini, saya berpendapat ikan juga belajar. Butuh waktu cukup lama untuk mendapat kembali ikan yang pernah di release. Paling tidak masih ada kesempatan ikan tersebut untuk berkembang biak sebelum tertangkap lagi. Jadi populasinya akan terjaga.
Saya sangat berharap Indonesia bisa memiliki aturan dalam memancing seperti di negara lain.
Saya sudah pernah bekirim surat pada Dirjen kelautan pesisir dan pulau pulau kecil, mengusulkan hal ini. Respon awalnya bagus. Kemudian oleh beliau diteruskan ke Direktur Konservasi, responnya sangat positif. sayangnya... sampai saat ini belum ada gerakannya.
Melihat kondisi kita saat ini, Kebijakan para pemancing sangat diharapkan.
Janganlah alasan untuk membantu orang miskin kita melegalkan pembantaian. Masih ada cara lain yang lebih Elegan. Keep Fishing, Tight line. " I am an Angler, Not a Killer", Adhek Amerta.
CnR emang perlu di gaungkan, pelan2 ga perlu buru2 ato terkesan dipaksakan.
Memperjuangkan nilai2 konservasi memang cukup berat, salah strategi malah bisa bikin org antipati bukannya simpati.
Salam Konservasi
Iwan
Maafkan geram saya ini. Tapi gimana nggak geram. Bnyk pemancing sport kita lihat akhir-akhir ini, anggaplah satu tim mancing trip, lha yang diangkat kayak ngomset buat satu RW?!?! Lha gimanaaa... Saya juga makan ikan. Tapi ya waras dikit gitu lho mksd saya...
Bahkan masyarakat biasa yg kita anggap polos, buanyaaak sekali yg punya kearifan lokal menjaga potensi perairannya dg 'bag limit' dan juga konsep2 konservasi tradisional lainnya... Lha ini yg katanya hobi bnyk yg lupa daratan...
Saya cuma coba Mengetuk, mengingatkan, ya gpp kl makin tidak disukai... Lbh baik tdk disukai tp msh mencoba waras, drpada disukai krn 'error'...
YANG PASTI SALAM NGGIH BUAT SEMUANYA...
anonim tersebut pak Adhek Bali, tadi beliau confirmasi ke saya..
menurut saya, pemancing(hobby) bisa di bagi dalam 3 kategori.
1, Pemancing yang hanya asal bisa jalan mancing dia sudah enjoy.
Pemancing tipe ini biasanya kurang memperhatikan : Balance tackle, kualitas alat
maupun hasil dari pemancingan. Pokoknya enjoy saja.
2. pemancing yang serius,tetapi tidak mengerti apa itu mancing yang sesungguhnya.
Yang tipe ini bisanya sudah mempertimbangkan kualitas alat, balance tackle dan
mempunyai Ekspektasi yang tinggi terutama pada hasil tangkapan. Harus dapat ikan
besar, harus dapat banyak ikan. Kalau bisa hasil tangkapan bisa menutupi biaya
perjalanan sekaligus bisa pamer keseluruh dunia (kalau bisa) bahwa perjalanan
yang dilakukan "Sukses besar".
Kalau gagal, biasanya ditutup-tutupi. Jangan sampai orang tahu. Tampangnya jadi
serem alias muka perang dan selalu mencari "kambing hitam". Kapten goblok lah,
kapal jelek dlsb,
3. Pemancing serius yang mengerti mancing.
Selalu berusaha meng up grade pengetahuan dan kemampuan. Sadar bahwa kesuksesan
dari suatu perjalanan ditentukan oleh banyak faktor. Kemampuan pemancing,piranti
Vessel dan pemandu sangat berperan. "Alam" juga sangat menentukan.
Temperatur dan arus serta cuaca sangat perlu diperhitungkan. Kalau gagal, tetap
enjoy. berusaha mencari tahu penyebab ketidak suksesannya.
Banyak pemancing yang tidak sadar bahwa, memancing itu adalah suatu proses yang panjang. Banyak pemancing yang sudah membatasi tingkat kesenangannya (Memenjarakan diri sendiri). Hanya senang kalau dapat ikan besar, atau hanya senang kalau bisa dapat ikan banyak. Apalagi kalau hasilnya bisa menguntungkan.
Kenapa tidak berusaha menikmati semua proses dari memancing? Mulai ke toko membeli alat, merangkai alat, menyiapkan peralatan untuk perjalanan, dan perjalanan nya sendiri bisa dinikmati. Kenapa tingkat kesenangan harus dibatasi sedangkan sudah mengeluarkan dana yang tidak sedikit?
Banyak pemancing yang tidak siap dalam menjalankan hobby. Masih memperhitungkan hasil tangkapan (untung - rugi). Bukankah kalau mau menjalankan hobby, bearti sudah punya dana ekstra yang akan dibelanjakan (dibuang). Salam Konservasi.
Chat conversation end
Seandainya kesadaran ini juga dimiliki industri seputar fishing, misal yg deket2 dgn sportfishing dimana mereka mengembalikan apa yg mereka dapat dari sportfishing dgn mensponsori misal tebar benih ikan langka jika memungkinkan atau inisiatif konservasi lainnya utk menjaga kelestarian ke depannya alangkah indahnya....
Angler yg fish killer itu (diantaranya) adalah individu2 yg kesadarannya butuh usaha bersama-sama dari seluruh stake holder dunia sportfishing. Usaha Om Michael seharusnya ditiru industri yg tergantung pada sportfishing karena sejatinya kl sportfishing mati dini mereka juga yg rugi karena mereka bisa ikutan mati juga...
Mungkin sudah ada usaha-usaha ke arah sana dari industri, terus terang saya tidak paham, tapi jika belum semoga industri media, chain store perlengkapan pancing, international brand pancing sudilah kiranya mencadangkan dana CSR utk tujuan konservasi dan edukasinya.... preserve now to preserve yours in the future...
Pareng....
Saya sangat spendapat dengan post ini, mengingat black bas di tempt kami
Mulai langka, saya juga mulai berjuang mengajak teman2 untuk melestarikan Black bas di perairan kami khususnya di Tana PASER - kampung Riwang.
Memang berat, karna kita di anggap bodoh jika mereylis BB yg sudah dipancing.
Vi itu tidak masalah buat saya, jika bisa merelyis BB itu adalah suatu kebanggaan tak ternilai buat saya. YouTube vloq (Awie Paser)