Bagapo: Antara Perburuan Khas ala Masyarakat Pesisir Pulau Makian, Bermain Air dan atau Melepaskan Tekanan Batin Yang Terpendam?
Penghujung bulan Oktober, sinar matahari seperti membakar Pulau Makian di Maluku Utara. Saya mencoba melawan hari dengan berteduh di serambi belakang sambil ngobrol bersama masyarakat setempat yang berkumpul di sebuah rumah di tepian pantai yang menjadi basecamp kami selama beberapa hari di Pulau Makian, pulau yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Kenari (saking banyaknya tanaman kenari di seluruh penjuru pulau, sebagian telah berusia ratusan tahun lebih). Pemukiman pesisir Pulau Makian menurut saya cukup unik. Bagian depan rumah menghadap jalan raya beraspal yang belum tentu sehari sekali ada kendaraan roda empat melintas (di Pulau Makian, jumlah mobil bisa dihitung dengan jari), bagian belakang rumah memiliki halaman yang menghadap langsung ke pantai yang meski berpasir hitam tetapi cukup bersih (buktinya setiap hari masyarakat mandi dan anak-anak juga bermain di pantai ini). Sebelum lupa, tentang mandi ini ada yang unik menurut saya, meski berjarak beberapa meter saja dari tepian pantai, air yang muncul dari sumur-sumur yang digali oleh masyarakat di sepanjang pesisir ini sangat tawar dan sangat bening! Konon menurut warga dengan teori sederhana mereka, ini disebabkan karena daya dorong air tawar dari gunung ke bawah lebih kuat dibandingkan daya resapan air asin dari laut. Saya tentunya memilih mandi dari air sumur yang tawar ini daripada mandi di pantai, takut ada yang ngintip dan kemudian naksir. Ngarep! Hehehe. Info berikutnya bagi yang belum mengenal Pulau Makian, pulau ini adalah salah satu pulau gunung api di Maluku Utara, kontur pesisirnya sangat terjal, beberapa meter dari garis pantai langsung drop dengan kedalaman ratusan meter. Gunung api yang ada di pulau ini, Kie Besi (1357 mdpl), masih aktif hingga hari ini, dan sepertinya akan terus aktif selamanya. Letusan terakhir Kie Besi terjadi pada tahun 1988 dan bekas koyakan akibat letusan ini masih terlihat jelas di tengah-tengah Pulau Makian.
Sembari ngobrol ngalor
ngidul ngetan ngulon, saya melemparkan trigger
dalam bentuk satu dua pertanyaan pendek tetapi berupa kata-kata kunci,
mengalirlah beragam kisah kegiatan masyarakat di Pulau Makian. Kalau tentang
keterkaitan masyarakat dengan tanaman kenari saya sudah tidak perlu menelusuri
lagi, karena seluruh penghuni pulau ini terkait erat dengan tanaman unik ini,
sudah terlalu mainstream jika saya
hanya mencari informasi ini karena semua orang ketika ke Makian akan membahas
tentang hal ini. Saya penasaran, adakah kegiatan-kegiatan lain yang unik yang
mungkin bisa didokumentasikan. Masyarakat Pulau Makian ini menurut saya terbagi
separo-separo antara yang agraris dan bahari, sama-sama kuat, malah kalau
dilihat ramainya kebun dan perdagangan kenari sejak jaman kuno, tetapi lautan
cukup sepi dari aktifitas nelayan (kapal-kapal yang beroperasi di Makian
kebanyakan kapal transportasi barang, kalaupun ada perahu nelayan hanya
perahu-perahu kecil yang mencari ikan di dekat-dekat pantai saja), Pulau Makian
menurut saya lebih kental budaya agrarisnya dibanding maritimnya. Ini hasil
pengamatan saya selama sepuluh hari di pulau ini, bisa jadi saya kurang tepat
dalam menilai kehidupan di Pulau Makian saat ini, tetapi itulah yang saya lihat
dan rasakan pada penghujung bulan Oktober tersebut. Di antara riuh-rendah
perbincangan, yang sebagian besar tidak saya tahu artinya karena mereka
berbicara dalam bahasa Makian, rekan yang paham bahasa Makian menerjemahkan
kepada saya bahwa ada aktifitas yang kadang dilakukan masyarakat di pesisir dan
cukup unik yang disebut bagapo. Yaitu
kegiatan mencari ikan-ikan kecil untuk umpan mancing dengan menggunakan sapu
lidi ketika air pantai sedang surut. Sedetik kemudian saya langsung menyahut,
saya ingin mendokumentasikannya! Mereka meminta waktu ingin menjelaskan lebih
rinci tentang kegiatan ini, tetapi saya dengan lebih yakin kembali mengulang,
bahwa saya ingin mendokumentasikannya! Dan kami pun tertawa terbahak-bahak. Saat
itu, saya memang belum tahu detail bagapo
ini, tetapi dari visualisasi singkat saya tentang kegiatan ini menurut saya
bagapo sangat unik. Dimana kegiatan
perburuan pesisir yang dilakukan oleh masyarakat akan penuh dengan olah fisik,
kegembiraan, lucu, namun juga dengan pemahaman tentang waktu pasang surut dan
pengenalan wilayah perburuan. Saya sering mendokumentasikan perburuan masyarakat
pesisir dengan menggunakan tombak, bubu, lukah,
selambau, pancing, jaring dan lain sebagainya. Tetapi dengan sapu lidi?!
Bayangkan!!
Singkat cerita, tiga hari kemudian, karena saya dan tim
Jejak Petualang Trans7 (host Chintya Tengens dan kameraman Eko Priambodo) masih
harus menyelesaikan tugas dokumentasi lainnya, speed boat kami sudah meluncur menuju Pulau Raja, pulau kosong yang
berjarak empat puluh menit di seberang Pulau Makian ke arah Pulau Halmahera. Di
atas speed boat sudah ada beberapa warga yang akan menunjukkan kepada kami
tentang apa itu bagapo. Peralatan
berupa sapu lidi dan juga joran/stick pancing dari pelepah nipah juga sudah
kami bawa serta. Termasuk juga kami menyeret satu sampan kecil untuk memudahkan
proses loading penumpang dan
peralatan di Pulau Raja dan beberapa pelepah kelapa kering dan kayu-kayu untuk
membangun gubuk darurat tempat berteduh kami selama di Pulau Raja. Seperti saya
sebutkan di awal, penghujung bulan Oktober sinar matahari begitu garang
membakar Maluku Utara. Kami memang orang-orang lapangan, tidak takut hujan
petir badai dan panas, tetapi kalau setiap hari selama dua belas jam dibakar
matahari, selama tiga minggu dalam satu bulannya, mohon dimaklumi jika kami
mencoba menghargai kulit kami yang juga tidak mulus dan bersih ini. Hehehehe! Letak
Pulau Raja ini menurut saya sangat strategis, jika kita tembakkan kamera ke arah selatan, maka persis akan terlihat
kemegahan gunung api Pulau Makian dan Pulau Moti. Keduanya menyembul menantang
di antara keluasan laut Maluku Utara. Siapapun yang memandang pulau gunung api
Makian dari kejauhan, pasti akan berdecak kagum dan terdiam beberapa saat
mengagumi keindahan dan kemegahannya. Kenapa saya bilang sesaat, karena kalau
lama-lama mengagumi Pulau Makian, dan apalagi dari Pulau Raja yang ‘terbuka’
tanpa pelindung, maka kita akan terbakar! Jadi jangan lama-lama mengaguminya
dengan berjemur dibakar matahari di tempat terbuka, kecuali kompensasi dan
asuransi yang Anda terima lebih dari cukup untuk mengganti semuanya.
Kami tiba di Pulau Raja tepat ketika air bergerak turun,
sebenarnya ini sudah saya hitung dengan cermat sejak dari Makian. Di ponsel
saya ada aplikasi tentang pasang surut dan juga peta laut (ketika berada di
Pulau Tidore yang memiliki koneksi bagus say atelah mencatat semuanya), jadi
dimanapun itu kita berada di lokasi tanpa sinyal sekalipun kita dapat
meprediksi dengan presisi tinggi tentang waktu dan bahkan ketinggian pasang
surut ini. Speed boat kami jangkar di titik yang aman sehingga tidak ada
kemungkinan nyangkut ketika puncak
surut. Usai loading peralatan, manusia, perbekalan dan juga membangun gubuk
darurat kami, acara bagapo pun kami
mulai. Foto-foto dan terutama video sebenarnya lebih bisa menjelaskan keseruan,
kegembiraan, kelucuan dan olah fisik dari kegiatan bagapo ini. Mereka intinya akan berlarian kesana kemari membawa
sapu sembari terus memukul permukaan air pantai yang tergenang dimana-mana
sembari berteriak-teriak dalam bahasa Makian yang tidak saya mengerti semuanya.
Kenapa mereka harus berlari kesana kemari, karena mereka sebenarnya sedang
mengejar ikan-ikan kecil yang terjebat surut, dan berharap dapat memukulnya
dengan sapu lidi hingga klenger.
Cukup sampai klenger saja, tidak
perlu mati, dan kemudian mereka akan memungutnya untuk kemudian disimpan dan
nantinya dijadikan umpan mancing dari daratan/landbased fishing. Tetapi meski
ikan-ikan kecil banyak terjebak di sepanjang pantai yang mulai mengering
tersebut, bagapo bukanlah hal yang
ringan karena ikan-ikan kecil tersebut sangat gesit berlarian setiap kali
mendengar kecipak kaki di air. Tetapi inilah uniknya kegiatan ini, ada usaha
dan kegembiraan dalam mencari sesuatu, tetapi dilakukan dengan cara yang tidak
biasa sekaligus ramah lingkungan. Saya iseng mencoba merasakan kegiatan ini
dengan meminjam sapu yang mereka bawa, ketika mereka tampak kelelahan bagapo, saya mengejar ikan-ikan kecil
dan mencoba mendapatkannya dengan memukulnya. Tidak mudah tetapi di sisi lain
seru! Setiap kali kita memukulkan sapu ke air kita seperti melepaskan sesuatu
yang terpendam, itulah kenapa ibu-ibu yang ikut bagapo dengan kami melakukannya dengan begitu ramai. Sesuatu yang
terpendam itu bisa berupa hasrat agar berhasil mendapatkan target, dan juga
bisa sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya dengan bagapo ini. Menariknya, ketika saya mengingat sesuatu yang
menyebalkan dan ‘menaruh’-nya di sapu lidi yang saya pakai, saya malah semakin
semangat dan kuat dalam menyabetkan sapu lidi tersebut ke atas permukaan air.
Entah ini juga dirasakan atau tidak oleh masyarakat Pulau Makian, tetapi
menurut saya bagapo ini cocok untuk
melepaskan hasrat terpendam di sanubari kita dengan cara yang ‘sehat’. Kita
tidak perlu bertengkar dengan seseorang, tidak perlu beradu mulut, tidak perlu
menyiksa diri karena kelakuan seseorang, dan lain sebagainya. Hehehehe! Well,
intinya hari itu kami sukses bagapo di
Pulau Raja (kami mendapatkan beberapa ikan kecil untuk dijadikan uman mancing,
kebanyakan adalah jenis ikan mud skipper), sukses juga mancing juga dengan cara
tradisional (hasil mancing paling keren hari itu adalah ikan kerapu yang sangat
cantik). Tetapi sayangnya hari itu kami gagal untuk tidak menambah semakin
hitamnya kulit-kulit kami, karena di penghujung hari usai bagapo, tanpa kami sadari kami telah semakin legam! Host kami
Chintya Tengens berteriak histeris karena langsung bisa mengkalkulasi biaya
perawatan kulit di salon. Wkwkwk! Saya dan kameraman Eko Priambodo cukup saling
pandang sembari nyengir, karena bagi
kami-kami ini kalau tidak hitam di trip katanya kurang all out dalam berkarya! Salam petualang!
Comments