Sungai Kedelapan di Morowali Utara: Clear! Ekosistem Yang Berubah dan Pengakuan Terbuka Pelaku Pengebom Ikan
Untuk memahami kegundahan ini baiknya baca dahulu catatan kecil tahun lalu yang menjadi alasan kedatangan ketiga saya ke Morowali Utara ini yaitu Demi Indonesian Black Bass dan Catatan Tentang Tujuh Sungai. Niatnya sebenarnya sangat sederhana, selain tentunya melakukan liputan keterkaitan perairan tawar dan payau dengan masyarakat sekitarnya, adalah menampilkan destinasi sportfishing baru yang layak untuk diperhitungkan di ranah wisata mancing nasional dan syukur-syukur internasional. Tetapi niatan sederhana ini sepertinya harus saya kubur dalam-dalam dan bahkan masuk dalam red list destinasi yang jangan pernah didatangi lagi karena beberapa pertimbangan. Banyak hal positif terkait potensi perairan yang pernah kami ‘bangun’ dan lakukan di berbagai daerah di Indonesia, banyak hal pernah kami lihat di berbagai penjuru negeri ini. Tentang bagaimana masyarakat menjaga perairan sekitar mereka, dan bagaimana memikirkan agar perairan dan segala potensinya dapat sustainable dan diwariskan kepada generasi penerus, dan malahan bagaimana memanfaatkan potensi perairan yang ada bukan semata demi konsumsi saja tetapi juga agar mendatangkan penghasilan untuk seluruh masyarakat dari sisi wisata mancing dan lain sebagainya. Hari ini, hari kedelapan saya di Morowali Utara, yang kemudian saya pahami sungguh membuat gundah dan kekecewaan yang teramat dalam. I know, saya tidak memiliki hak apapun dengan tanah air dan apapun di wilayah ini, saya hanya pejalan dan pekerja media, dan mungkin akan ada orang yang berkata buat apa saya bicara banyak, apa urusannya saya bicara banyak. Pertanyaan saya, buat apa menjadi pemilik tanah air jika hanya bisa merusak dan menghancurkannya? Hanya bisa mengurasnya dengan segala kerakusan yang bahkan terkadang caranya diluar nalar dan bukannya malah menjaganya demi anak cucu?!
Sungai Tirongan adalah harapan kami terakhir dalam
perjalanan wild fishing ini. Kami pikir dengan banyaknya informasi tentang
aktifitas penangkapan ikan di laut dan sungai dengan bom ikan di wilayah ini,
sungai yang lokasinya dekat dengan pemukiman ini bisa jadi agak terhindar dari
perbuatan keji tersebut. Karena ada efek takut bagi siapapun yang hendak
melakukan cara tangkap ikan yang merusak sebab bisa dilihat oleh penduduk yang
rumahnya tidak jauh dari sungai. Dan apalagi sungai ini juga menjadi jalur
sehari-hari ke kebun masyarakat Baturube juga Tirongan, pasti para pengebom
ikan tidak berani melakukan niat kejinya disini. Yang artinya, populasi ikan di
sungai yang terhubung langsung dengan laut ini bisa jadi cukup menjanjikan. So,
tadi pagi dengan semangat yang kami perbarui, kami masuk ke Tirongan sehari
penuh. Naik hulu, lalu drifting ke muara, begitu bolak-balik sepanjang hari.
Sepuluh ribu lemparan umpan sudah kami lakukan ke segala penjuru yang kami
anggap potensial, tonggak kayu di tepian, pohon roboh, lubuk dalam dan lain
sebagainya. Hasilnya? Luar biasa! Luar biasa mengecewakan! Ikan target yang
menjadi incaran kami tidak kami dapatkan, dan juga ikan-ikan lain apapun itu jenisnya.
Padahal kedalaman dan lubuk-lubuk yang ada di sungai ini lumayan menjanjikan.
Mengingatkan saya pada spot ikan black bass paling klasik di Indonesia, yakni
di Pulau Halmahera. Di Halmahera, sebuah sungai yang pernah saya sambangi
dengan tim Mancing Mania Trans7 panjangnya tidak sampai 3 kilometer. Tetapi
setiap air pasang masuk dan juga setiap air keluar surut dari sungai, aktifitas
ikan black bass (Lutjanus goldei) yang ada sungguh membuat merinding, membuat
peralatan pancing banyak patah, dan puluhan umpan putus! Sungai di Halmahera
tersebut menjelma menjadi medan perburuan mangsa dari ikan-ikan black bass
berukuran monster! Padahal lokasi ini juga dekat dengan pemukiman warga, bahkan
dilintasi jalan raya antara Bandara Kao – Tobelo.
Di seluruh sungai di Morowali Utara yang kami datangi hingga
hari ini, jangankan jalan raya, jalan kampung yang ada saja hanya melewati tiga
sungai yang ada (Tirongan, Salato, dan Tokala). Itupun benar-benar jalan
kampung berbatu yang belum tentu setengah jam sekali melintas motor/mobil, yang
artinya wilayah ini sangat terpencil dan cukup sulit diakses oleh masyarakat
dari luar. Kenapa saya sebut masyarakat dari luar daerah memiliki kecenderungan
merusak potensi perairan yang ada, karena mereka tidak ada rasa memiliki yang
kuat terhadap sungai dan segala isinya. Berbeda dengan pemilik tanah airnya,
yang artinya masyarakat sekitar sini, yang karena memiliki biasanya akan
mencintai dengan sebaik-baiknya. Yang terjadi ternyata di luar dugaan, pemilik
tanah air itu sendiri yang malah merusaknya dengan ketamakan yang memuakkan.
Kenapa saya berani menulis demikian? Apa dasar pijakan saya? Apa seluruh
masyarakat sekitar delapan sungai yang kami datangi dalam perjalanan ini
semuanya suka merusak alam di sekitarnya, jawabannya tidak. Hanya sebagian
kecil saja dari mereka yang melakukannya, tetapi efeknya jelas terasa untuk
seluruh masyarakat juga alam yang ada di wilayah ini. Seminggu lalu, awalnya
saya masih tidak percaya bahwa aktifitas pengeboman ikan di wilayah ini bisa
masuk hingga ke sungai-sungai. Ternyata kabar yang awalnya saya anggap sebagai
khabar burung ini benar adanya. Kenapa benar? Ya karena pelakunya sendiri yang
berbicara kepada saya! Saya tidak akan menyebut nama, tetapi selama delapan
hari berada di wilayah ini, setidaknya saya telah berhadapan muka dengan lima
pengebom ikan. Berarti kalau saja bisa lebih lama berada di wilayah ini,
jumlahnya sepertinya hampir pasti akan bertambah? Ratusan orang? Lha berarti
hampir 50 % lebih orang yang tinggal di wilayah ini melakukan kegiatan tangkap
ikan yang dilarang undang-undang tersebut?! Kog sepertinya tidak ada upaya
pencegahan dan ataupun penegakan hukum yang berarti terkait kegiatan yang
dilarang undang-undang ini?!
Semua ‘pengakuan’ dari para pelaku penangkapan ikan dengan
cara yang merusak tersebut kami dapatkan begitu saja tadi, sepanjang hari kami
bolak-balik menyusuri Sungai Tirongan. Oh ya sebelum lupa, kemarin malam ketika
kami nongkrong di teras basecamp di Baturube, seorang warga yang entah datang
darimana ikutan nimbrung, sepertinya dia cukup dekat dengan pemilik rumah
tempat kami menginap. Basa-basi sejenak, dia kemudian bertanya, apakah sudah
mendapatkan ikan yang kami cari-cari? Belum Om jawab saya, sambil hhhhhhhh
saking capeknya 7 hari berkeliling mencari sang black bass yang berukuran
monster. Di Sungai Tirongan banyak kog katanya, sungai di belakang kampung ini.
Masak sih Om dekat kampung begini ada ikan black bass-nya, wong 7 sungai yang
jauh saja hasilnya nihil, jawab saya lagi. Banyaaak, saya pernah ‘lempar’ di
muara Tirongan dapat 50 kg kog totalnya. Melempar? Maksudnya? Seorang warga
lainnya menerjemahkan arti ‘lempar’ tersebut yang rupanya adalah sama dengan
nge-bom ikan! Saya kaget, itu khan dilarang undang-undang Om, lagian kalau
dibom setelah itu semua akan musnah, belum tentu puluhan tahun ke depan
ekosistem di sekitar lokasi nge-bom itu akan pulih. Dia tidak peduli, habisnya
susah sekali saya pancing ikan-ikan ini, padahal di bawah di dalam air
kelihatan sekali sangat banyak. Katanya lagi. Sebagai bagian dari masyarakat
Suku B*** yang sebagian besar hidupnya memang di laut, sulitnya mendapatkan
ikan nain harusnya disiasati dengan
memancing dengan cerdas dan juga semangat tinggi. Eh ini dengan ‘melempar’?!
Belum selesai terkejut saya, seorang warga lainnya menyahut. Kalau saya juga
pernah ‘lempar’ di muara Sungai Tokala, timpalnya. Gustiiii! Jadi selama ini
saya memancing di sisa-sisa lokasi orang biasa nge-bom?! Hasil dari nge-bom di
Sungai Tokala ini seingat dia jumlahnya 200 kilogram (ikan campur: kerapu &
black bass). Sudah membuat terkejut, yang sangat menyedihkan, mereka semua
menceritakannya tanpa ekspresi bersalah sama sekali dan malah sambil tersenyum
puas. Gila?! Cerita-cerita tentang kegiatan nge-bom ikan yang sepertinya tidak
ditindak oleh aparat yang berwenang ini kurang lebih juga saya dengar sepanjang
waktu, ketika hari ini kami berkeliling bolak-balik hulu dan muara Sungai
Tirongan. Clear! Jadi memang ekosistem perairan payau di wilayah ini memang
sedang menuju kehancurannya karena keserakahan manusianya?! Bukan hanya berubah
kalau kenyataannya seperti ini mah, tetapi sedang menuju kehancuran! Entah kenapa
saya tiba-tiba kepikiran untuk membentuk satgas nasional pemberantasan bom
ikan?! Pak Presiden?!!!
* Photo by Me. No watermark on the pictures, but
please don't use or reproduce
(especially for commercial purposes) without my permission. Don't make
money
with my pictures without respect!!!
Comments