Skip to main content

Tanah Air Merah Putih: 71 Tahun Kebebasan Menentukan Nasib Sendiri danDan Masa Depan Perairan Indonesia


Dear sahabat Wild Water Indonesia dimanapun berada. Ide awal membuat catatan iseng ini sebenarnya muncul ketika saya berada di Pulau Inggelan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Tepatnya pada bulan Juni 2016. Niat awalnya adalah memberi ‘kado’ kemerdekaan kepada negeri tercinta Indonesia yang merayakan 71 tahun kemerdekaannya. Semacam ingin merenungkan apa-apa yang bisa saya sarikan sebagai anak bangsa selama ini. Tetapi karena banyak sekali hal, ide tersebut kemudian ‘terjepit’ di antara banyak sekali tugas dan kesibukan sebagai kuli media dan secara otomatis kemudian ikut berkelana mengikuti raga ini pergi kemana. Pertengan Juli ketika berada di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat sebenarnya kegelisahan ini seharusnya berhasil dituliskan. Tetapi ternyata urung untuk diwujudkan karena ‘didera’  kesibukan mencari ikan di teluk terbesar di seluruh Kepulauan Nusa Tenggara, yang tidak saya sangka, ternyata telah mengalami perubahan ekosistem yang luar biasa. Hari ini, tanggal 23 Agustus 2016, ketika mendapatkan kesempatan langka untuk menulis, di tengah beratnya sebuah perjalanan panjang di alam liar, posisi saya sedang berada di antah barantah ‘dipeluk’ kompleksnya hutan rawa ulayat masyarakat Suku Yee, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Ini adalah hari ke delapan tim Jejak Petualang Wild Fishing bersama masyarakat Desa Toray menggelar ekspedisi terliar sekaligus teraneh dalam ‘karir’ saya menggeluti dunia mancing sekaligus media;  Jejak Petualang Wild Fishing - Ekspedisi Rawa Camo! Tiga hari masih tersisa sebelum kami keluar hutan dan kembali ke Merauke, masyarakat akan kembali ke kampung mereka, ke dunia ramai. Kisah Rawa Camo ini tentunya akan saya tuliskan nanti karena memang masih belum usai. Jadi maksud saya begini, sejujurnya saya bukan bagian orang pintar yang bisa berbicara banyak hal tentang lingkungan seperti banyak kita lihat di televisi dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan gambaran mobilitas saya dan juga medan yang saya jelajahi, dalam sebulan setidaknya tiga minggu saya berada di medan-medan ‘wild’ seperti itu, jadi ketika saya ingin menulis tentang apa-apa yang saya lihat alami rasakan dan renungkan, based on experience seperti itu, saya merasa bahwa saya tidak melakukannya dalam konteks ‘mengiggau’, tetapi memang pernah melihat semuanya dengan pemahaman yang cukup dan concern tertentu. Wild Water Indonesia yang saya ‘bangun’ bersama rekan-rekan pemancing dan pecinta perairan lainnya adalah bukti concern lingkungan saya terutama terhadap masa depan perairan di Indonesia. Jejak Petualang Wild Fishing, program petualangan baru yang usianya masih belia kurang dari tiga tahun, juga merupakan tayangan petualangan yang sengaja kami bangun agar berbeda dengan memberi muatan besar pada pesan kelestarian lingkungan, keberlanjutan potensi perairan, dan juga membantu menguatkan kearifan lokal dalam menjaga dan memanfaatkan potensi perairan yang ada.

Banyak hal di perairan kita yang telah dan terus berubah, yang sialnya, menurut saya ke arah yang mengerikan! Anggap saja catatan iseng ini adalah review terhadap perjalanan pribadi juga perjalanan tugas, tetapi beberapa hal kemudian menjadi perhatian khusus saya secara pribadi. Memang banyak anak bangsa ini yang mampu berkeliling kemanapun ke seluruh penjuru negeri, dengan tujuannya masing-masing tentunya, dan lain sebagainya. Saya hanyalah anak bangsa yang kebetulan mampu berkeliling karena tugas ‘mulia’ mencari berita dan kemudian mengabarkannya kepada khalayak luas. Pekerjaan yang menjadi bagian angan ketika saya masih sibuk mengejar sks di sebuah universitas negeri di Bandung dan Puji Tuhan sudah delapan tahun ini menjadi kenyataan, dan kemudian saya jalani dengan semangat dalam suka dan dukanya. Apalah artinya seorang manusia tanpa bekerja?! Pekerjaan yang bisa jadi menjadi banyak angan orang lainnya di luar sana karena dianggap banyak “enak”-nya. Well hidup itu kalau kata orang Jawa sawang sinawang, saling melihat saja sebenarnya. Orang cenderung hanya melihat sisi enaknya saja dari kehidupan orang lain, dan bukan sisi yang ‘sebelahnya’ yang bisa jadi begitu banyak pahit getirnya. Saya hanya bisa bersyukur dengan apapun pekerjaan saya, bukan karena di profesi ini saya mendapatkan begitu banyak ‘lembaran’ ajaib itu, tidak sama sekali karena ini bukanlah profesi yang bisa mendatangkan hal seperti itu. Tetapi karena kesempatan mengenal banyak sekali orang, mengalami banyak sekali kejadian, mengetahui banyak sekali hal ‘istimewa’, mengunjungi banyak sekali tempat dan lain sebagainya.

Kita kembali lagi ke tempat dimana ide awal tulisan ini muncul. Pulau Inggelan (ada juga yang menyebutnya England) di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Saya berada di tempat ini pada pertengahan Mei hingga awal Juni 2016, menumpang di sebuah rumah kebun kecil milik masyarakat. Disebut Inggelan (peng-Indonesiaan dari England) karena konon pada masa PD II pulau ini pernah menjadi basis salah satu unit tentara Sekutu dalam meruntuhkan pendudukan Jepang di Maluku Utara terutama di Pulau Halmahera. Pulau Inggelan adalah noktah kecil yang berada di depan Tanjung Sowli, Halmahera Timur. Merupakan basis strategis jika kita hendak mengeksplorasi perairan payau di seluruh tanjung. Juga merupakan basis strategis para nelayan yang melaut di sekitar wilayah ini karena memiliki sumber air tawar. Ada sekitar tujuh sistem sungai payau di Tanjung Sowli ini. Saya lupa nama-nama sungainya tetapi salah satu sungai tersebut kalau tidak salah namanya Beb. Sungai terbesar dengan panjang aliran yang cukup menjanjikan, sekitar lima kilometer ke arah darat (pegunungan). Semua sungai tersebut jika diakses dari Inggelan hanya perlu waktu tidak sampai setengah jam (dengan mesin 15 PK), tetapi harus teliti saat masuk dan keluar dari sungai, karena jika sedang surut maka perahu kita akan tersangkut di lautan lumpur yang berada di depan muara-muaranya. Dan sekali tersangkut itu artinya beberapa jam kemudian bisa keluar yakni dengan menunggu air pasang, karena tidak mungkin mendorong perahu melewati jebakan lumpur yang menghisap tersebut. Sangat berbahaya!

Saya mendengar kata Inggelan untuk pertama kalinya pada bulan Mei ketika saat itu berada di sungai-sungai sekitar kota Maba, juga di Halmahera Timur. Sungai-sungai di sekitar Maba menurut saya masih memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Baik itu untuk menyokong kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari (pemenuhan nutrisi) dan juga sebagai destinasi sportfishing. Untuk masyarakat, sungai-sungai payau di sekitar Maba memiliki potensi beragam jenis ikan, kepiting, juga kerang yang melimpah. Asal kita mau saja ‘turun’ ke sungai hamper semuanya bisa didapatkan. Saya membuktikannya sendiri dimana sehari kita bisa dengan mudah mendapatkan puluhan kilogram kerang darah, banyak sekali kepiting berukuran ‘monster’, dan ketika memancing bisa mendapatkan puluhan sambaran dalam sehari! Menurut masyarakat saat itu, sungai-sungai di sekitar Maba masih secara potensi dibandingkan sungai-sungai di ‘depan’ Inggelan. Itulah sebabnya sebulan kemudian saya dan tim Jejak Petualang Trans|7 kemudian merapat ke Inggelan. Bulan Juni yang aneh, karena ternyata curah hujan masih sangat tinggi. Memang curah hujan tinggi ini tidak mempengaruhi kejernihan air di sungai-sungai di depan Inggelan, tetapi saya yakin ini mempengaruhi hunting behavior dari ikan-ikan perairan payau mengingat hujan tentunya akan mengurangi kadar payau dari air sungai yang ada. Kami tetap mendapatkan ‘hujan’ sambaran dari beberapa spesies perairan payau seperti mangrove jack, kerapu dan beberapa ikan lainnya. Tetapi target utama sayangnya tidak kami dapatkan sama sekali. Ikan Indonesian black bass (Lutjanus goldiei) yang menjadi target utama kami, hilang entah kemana. Ini mengherankan karena secara kasat mata kondisi sungai baik itu struktur tepian dan perlindungan ikan dari batang-batang pohon sangat menjanjikan. Usut punya usut, berdasarkan info dari para nelayan yang saat itu juga mendirikan camp di Inggelan, sekitar 2014 sungai-sungai di Tanjung Sowli pernah diserbu tukang racun entah darimana, dengan menebarkan racun yang membuat sebagian besar penghuni sungai musnah! Terutama ikan Indonesian black bass yang oleh masyarakat disebut ikan somasi hitam. Jadi kalaupun kami masih mendapatkan banyak sambaran dari somasi merah (mangrove jack) dan juga ikan jenis kerapu, itu menurut mereka sebenarnya adalah ikan-ikan baru yang datang dari lautan lepas dan mulai kembali menghuni sungai.

Para pelaku racun sungai-sungai tersebut menurut masyarakat saat ini masih mendekam di penjara, tetapi efek perbuatan mereka belum pulih sepenuhnya setelah dua tahun mereka melakukannya. Kekejaman yang terjadi di Tanjung Sowli ini hanya satu dari beragam hal serupa yang menimpa berbagai sungai, danau, dan lain sebagainya di berbagai daerah di negeri ini. Selalu ada geram setiap kali saya mendengar hal-hal seperti ini, karena akibatnya begitu menyedihkan, tetapi sebagai pekerja keliling yang tidak pernah menetap di suatu daerah dalam waktu yang lama, saya menyadari bahwa saya tidak memiliki kemampuan untuk ikut berkontribusi dengan lebih baik untuk ikut menjaga apa-apa yang menurut saya pantas untuk dijaga dengan baik. Di sisa waktu yang ada saat itu secara pribadi (bukan secara tim), saya kemudian menjalin silaturahmi dadakan dengan semua nelayan yang saat itu juga nge-camp di Pulau Inggelan. Sebisa mungkin saya berusaha membagi kegelisahan saya tentang akibat dari cara tangkap ikan yang merusak tersebut. Saya mengambil resiko, karena bisa jadi sebenarnya ada juga dari mereka yang mungkin malahan selama ini melakukan proses penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak. Tetapi niat baik membuat saya melupakan segala resiko yang mungkin terjadi.  Para nelayan muda menjadi target ‘kampanye’ saya karena saya yakin mereka lebih bisa untuk diajak bicara dan di masa mendatang mereka masih memiliki perjalanan hidup yang panjang. Kebutuhan mereka juga generasi penerus mereka terhadap ikan (yang artinya bahwa ekosistem tempat ikan hidup harus dijaga dengan baik) menjadi “jurus” saya agar mereka menjadi para nelayan yang yang lebih bijak. Hari terakhir sebelum kami meninggalkan Inggelan, saya meninggalkan dua t-shirt Wild Water Indonesia: STOP SETRUM RACUN & BOM IKAN kepada dua pemuda yang ada di pulau tersebut. Satu dua orang yang kemudian tergerak dengan pesan tersebut, saya yakin bisa membuat perbedaan di Tanjung Sowli di masa mendatang. Daripada tidak ada sama sekali?!

Kini kita lanjutkan tulisan gelisah ini ke Teluk Saleh, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Teluk terluas di seluruh Kepulauan Nusa Tenggara. Dalam setahun terakhir ini sepertinya saya bolak-balik ke teluk ini untuk beberapa misi. Pertama adalah untuk ikut ‘merayakan’ musim telur ikan tuing-tuing (ikan terbang) yang dipanen masyarakat nelayan di sana. Hasilnya saat itu (kalau tidak salah Agustus 2015) sangat melimpah. Harganya yang sangat menjanjikan di pasaran sehingga membuat telur ikan tuing-tuing penyokong penting perekonomian masyarakat nelayan di Teluk Saleh, ketika ikan-ikan tidak lagi bisa diharapkan. Saya sempat berfikir apakah panen massal telur ikan tuing-tuing ini tidak mengganggu regenerasi ikan terbang ini, masyarakat nelayan menunjukkannya secara langsung, bahwa tidak setiap rumpun akan diambil semua telurnya. Dari ribuan telur yang menempel di satu rumpon, maka akan ditinggalkan setidaknya 10-an % agar memijah menjadi ikan terbang. Saya respek dengan tanggung jawab lingkungan yang mereka lakukan, kesadaran pemanfaatan secara berkelanjutan mereka cukup tinggi. Waktu yang lain saya sempat mengikuti kearifan lokal yang masih ada di komunitas nelayan di Teluk Saleh, utamanya komunitas nelayan keturunan Bugis, yakni kegiatan perburuan yang disebut dengan nama boa-boa. Kegiatan perburuan yang sangat unik tetapi melelahkan, karena kita harus terus bergerak di pesisir pantai di kedalaman satu meteran, dengan membawa  lari alat yang disebut lari-lariang. Semacam alat usir ikan yang dibuat dari rangkaian kayu kering yang disatukan dengan tali sepanjang 50-an meter. Sebegitu tingginya kah prinsip perburuan yang berkelanjutan di kalangan masyarakat nelayan Teluk Saleh? Ketika masyarakat nelayan lain begitu mudah melemparkan bom ikan dan menggunakan jaring yang memiliki kemampuan mengeruk semua isi lautan demi volume tangkap dan pemasukan ekonomi sebanyak mungkin?!

Musim ubur-ubur di Teluk Saleh juga menjadi momen yang tidak saya lewatkan. Momen ‘paling panas’ di Teluk Saleh ketika milyaran ubur-ubur seperti hendak mengambil alih dominasi atas teluk ini. Musim ini berlangsung antara September hingga Februari, tetapi saya datang pada penghujung musim, dan itupun masih terpana dengan berjubelnya ubur-ubur memenuhi seluruh penjuru teluk. Memang musim ubur-ubur memutar roda perekonomian masyarakat dalam skala “mega” di kawasan ini, karena hasilnya diekspor ke luar negeri terutama Cina. Tetapi yang agak luput dari pengamatan banyak orang adalah, bahwa ubur-ubur sebenarnya merupakan salah satu indikasi bahwa ekosistem laut di kawasan tersebut telah berubah. Boleh dibaca dengan “mulai tidak sehat”. Kenapa demikian, karena ubur-ubur bisa merajalela di sebuah kawasan  hanya jika tidak ada ‘penguasa’ dominan lainnya, dalam hal ini ikan-ikan pemangsa. Artinya? Saya yakin saudara-saudara memahami maksud dari pertanyaan ini. Saya tidak bermaksud menyerang Teluk Saleh, apalagi juga banyak keluarga baru saya yang tinggal di sana. Maksud saya begini, apa yang terjadi di Teluk Saleh sekarang bisa jadi adalah ‘buah’ dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab dari generasi sebelumnya. Kenapa saya sebut demikian? Pada bulan Juli 2016, saya dan tim Jejak Petualang Wild Fishing berkeliling hamper 50 % reef (karang dangkal) di wilayah ini. Kami menyewa kapal besar dan juga kapal-kapal kecil termasuk juga membawa kayak agar kami dapat mengeksplorasi dengan lebih seksama potensi reef-reef tersebut. Hasilnya? Tanda Tanya besar kemana ikan-ikan yang biasanya selalu ramai menghuni karang dangkal tersebut? Ribuan lemparan umpan, berpuluh hari berusaha mencari ikan, hanya menghasilkan beberapa ikan berukuran mini. Apakah kami yang terlalu bodoh memancing? Ataukah kami yang terlalu bodoh membaca arus dan lain sebagainya? Ataukah para nelayan “jagoan” yang menjadi guide kami tersebut salah memilih lokasi? Saya lebih condong pada persepsi, bahwa memang ada yang berubah di Teluk Saleh. Kondisi dasar reef-reef yang terlihat begitu “sakit” menjadi bukti nyata bahwa pernah terjadi kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab. Saya paham, perut yang lapar perlu diisi makanan, nelayan harus memiliki uang dari ikan-ikan yang dihasilkan. Tetapi apakah dengan harus mengorbankan sumber penghidupannya itu sendiri? Saya percaya bahwa para pelaku kejahatan perairan seperti ini tidak banyak sebenarnya, tetapi masalahnya, akibatnya harus ditanggung oleh banyak sekali orang! Dan bahkan oleh mereka-mereka yang mungkin saat ini belum dilahirkan!

Hari ini saya berada di liarnya sistem perairan rawa kuno di antah barantah pedalaman Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Rawa Camo, tulisan iseng “tanah air merah putih” ini belum juga usai, padahal tanggal 17 Agustus 2016 telah lama berlalu. Saya terkadang keheranan, begitu banyak hal yang menyita waktu saya, baik itu ketika berada di Jakarta yang memang notabene sibuk itu, dan juga ketika di pedalaman yang sunyi ini. Rasa-rasanya ketika berada di pedalaman, kesibukan saya berlipat ganda tiga empat kali lipat dibandingkan dengan ketika berada di ibukota. Bunyi genset yang sama sekali tidak merdu menjadi santapan telinga, mengalahkan bunyi indah satwa hutan yang mengepung kami di pedalaman ini. Masyarakat Suku Yee yang menemani kami, kebanyakan adalah para anggota marga yang memiliki hak ulayat rawa ini, sebagian telah terlelap, sebagian lagi sepertinya sedang bercerita hal-hal yang lucu (mob Papua). Suara tawa mereka yang khas masih terdengar dari tenda saya. Lelah sebenarnya mulai mendera raga saking beratnya medan yang kami lahap setiap hari. Tidak lama lagi kami akan melepaskan diri dari 'pelukan' erat Rawa Camo. Saya yakin bahwa ekspedisi ini memiliki oleh-oleh yang berharga bagi pemahaman banyak orang tentang potensi perairan rawa di Pulau Papua, utamanya di Kabupaten Merauke. Tentunya semua akan saya tuliskan nantinya.

Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan yang lama tertunda ini adalah, dalam suasana 71 tahun kebebasan menentukan nasib sendiri ini, adalah sebuah pertanyaan. Apakah kita anak-anak bangsa memahami dengan tanggung jawab dan kebijaksanaan, bahwa kita memiliki amanat untuk mewariskan dengan baik perairan negeri ini berikut potensinya kepada anak cucu kita, ataukah kita hanyalah kumpulan parasit yang hanya bisa begitu rakus makan dan berkembang biak sembari ‘membunuh’ inangnya? Salam Wild Water Indonesia! (Rawa Camo, Distrik Sota, Merauke, Papua, Agustus 2016).








* KETERANGAN FOTO: Pemuda pada foto-foto di atas adalah Y***** (22 tahun), salah satu pemilik ulayat di Rawa Camo. Sebenarnya kehadirannya sebagai kru dayung JPWF Ekspedisi Rawa Camo 2016 adalah mewakili ayahnya yang telah renta (menggantikan tenaga sebagai tukang dayung sekaligus mengawasi jalannya kegiatan dalam konteks pemilik ulayat). Rawa Camo dimiliki oleh 12 marga Suku Yee, salah satu suku yang terdapat di Kabupaten Merauke, Papua. Pemuda ini menurut saya adalah contoh pemuda yang berdedidkasi. Sehari-hari hidup dengan mencari ikan tilapia, tujuh jam mendayung dari rumahnya di Desa Toray, Distrik Sota. Selama kegiatan begitu giat membantu tim, dan sepertinya selalu bergembira. Dia juga memiliki keinginan kuat selalu mempelajari hal-hal baru dan menyerap informasi-informasi baru. Saya yakin di masa mendatang Y***** dapat menjadi figur penting dalam kehidupan Suku Yee. Generasi harapan seperti inilah yang menurut saya patut dipertimbangkan untuk menjadi 'agen' perubahan di berbagai daerah pedalaman di negeri ini. Picture captured at Rawa Camo, Distrik Sota, Merauke, Papua. August 2016. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!

Comments

Blogger said…
SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…

**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<






SAYA MAS ANTO DARI JAWAH TENGAH.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI BODAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI BODAS DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI BODAS…

**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

…=>AKI BODAS<=…
>>>085-320-279-333<<<