Skip to main content

Para Penjaga Batas Negeri: Kisah Tentang Ikan-ikan, Suku Yee, Tentara,dan Para Pemancing di Perbatasan RI – PNG (Bagian 4)


Tentara dan pemancing, datang dan pergi silih berganti dari Desa Toray, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Desa kecil dekat perbatasan RI – PNG. Tetapi orang-orang Suku Yee dan ikan-ikan tentunya terus tinggal. Hidup tenang dalam keberlimpahan sumber daya alam megah terjaga, yang menyediakan apapun yang dibutuhkan untuk melanjutkan hidup. Ketika mengawali perjalanan ini terlintas sekejap di kepala, bahwa akhirnya setelah sepuluh tahun, bentang geografis ribuan kilometer yang terangkum dalam lagu “Dari Sabang sampai Merauke” itu selesai juga bagi saya. Semuanya karena mengurus ikan! Tetapi ternyata ketika ekspedisi mencapai ‘ujungnya’, ketika hari itu kami berkumpul di sebuah tugu perbatasan paling besar yang ada di Sota, sembari menghidupkan ponsel yang kembali ada gunanya, saya salah duga. Ekspedisi Rawa Camo JPWF Trans|7 ke ujung negeri kemarin itu hanyalah awal untuk sesuatu yang baru bagi saya, sesuatu yang berbeda. Tetapi saya percaya semua ini yang terbaik dan merupakan rencana-Nya!
 
Meski kami telah melihat kemegahan dan ribuann spot yang ada di Sungai Kalimaru ketika sedang mengarah keluar dari Rawa Camo, tidak serta merta kami langsung melanjutkan petualangan berikutnya di sungai tersebut. Ketika seluruh rombongan ekspedisi ini kemudian kembali merapat di Kampung Toray, kami melanjutkan perjalanan menuju ke kota terdekat, Merauke. Banyak hal yang harus diatur ulang demi kelancaran petualangan selanjutnya terutama menyangkut logistik. Perbekalan memang menipis baik itu logistik dan juga persediaan uang tunai sehingga saya memutuskan setidaknya ekspedisi ini ‘break’ sebentar dua hari semalam. Untungnya dua buah mobil yang kami pesan melalui telepon satelit telah standby di tepi Sungai Kalimaru, sehingga usai memindahkan semua barang dari longboat kami bisa langsung bergerak menuju ke Merauke. Hal seperti ini, demi mengambil perbekalan harus kembali ke ibukota kabupaten, sebenarnya tidak perlu terjadi andaikan orang-orang penting di Jakarta sana memenuhi permintaan saya bahwa kami memerlukan pegangan bekal tunai yang banyak. Namun karena sistem selalu benar, jadilah kami harus kembali ke kota terdekat demi bertemu dengan mesin atm dan atau teller bank. Mesin atm dan teller bank termahal sepanjang umur hidup saya, karena setidaknya menelan dana hampir tujuh nol enam kali untuk bolak-balik ke Merauke dari Toray dalam dua hari tersebut! Tetapi itulah nyatanya! Ongkos transportasi di Merauke memang cukup mahal. Mobil penumpang jenis kecil sewa per harinya 1,5 nol lima kali! Begitu juga mobil jenis pick up, ratenya kurang lebih sama saja. Jadi bayangkan hanya untuk demi bertemu dengan ‘teller bank’ (baca: menarik yang di bank), dana operasional yang tersedot begitu banyak! Perjalanan ke Merauke cukup lancar, seperti biasa jalanan trans Papua yang kami lintasi begitu sunyi dari lalu lintas mobil. Selama hampir tiga jam hanya berpapasan dengan beberapa mobil 4wd yang sarat muatan, kata masyarakat ini adalah mobil-mobil yang menuju ke Kabupaten Boven Digul. Begitu kontras dengan Jakara misalnya, ketika mobil-mobil di jalanan begitu rapat macam semut yang berbaris mencari makanan dan seringnya selalu terjebak oleh kemacetan parah!

Meski harus bolak-balik Toray – Merauke PP dalam dua hari saya mencoba melihat sisi positif yang mungkin ada. Kalau secara fisik jelas perpindahan seperti ini begitu menguras tenaga dan pikiran karena membuat seluruh anggota rombongan tidak bisa ‘break’ dengan tenang menikmati suasana perkampungan di perbatasan Papua - PNG. Tetapi di sisi lain dengan break di kota setidaknya kita bisa menggunakan kembali seluruh ponsel yang kami miliki untuk komunikasi dan lain sebagainya. Terkait JPWF Ekspedisi Rawa Camo 2017, setidaknya saya bisa sedikit memberi ‘bocoran’ ke kantor, seluruh jaringan sosial media saya dan lain sebagainya mengenai hasil perjalanan ‘gila’ ke Rawa Camo ini. Bagi saya pribadi, petualangan di Rawa Camo dapat dikatakan berhasil dan menghasilkan bukan hanya sekedar gambar video ratusan giga byte, tetapi lebih jauh lagi JPWF Ekspedisi Rawa Camo berhasil mengupdate tentang sebaran ikan jenis arwana di wilayah Kabupaten Merauke. Selama ini banyak anggapan bahwa sebaran ikan arwana Papua (Scleropages jardinii) hanya terdapat di sungai-sungai besar di Merauke dan atau danau-danau yang terhubung dengan aliran sungai besar. Rawa Biru misalnya, membuktikan bahwa spesies ini berdiam di danau-danau yang terhubung dengan Sungai Kalimangu. Kalimangu sendiri adalah habitat ikan arwana Papua yang telah lebih dahulu dikenal komunitas mancing di Indonesia bahkan dunia setelah Rawa Biru. Kenyataannya kami mendapati data yang berbeda. Rawa Camo adalah sebuah ceruk air yang terpisah dari sistem aliran sungai besar di wilayah ini. Tidak bisa kita katakan bahwa Rawa camo mengalirkan air keluar danau ini, karena pada kenyataannya memang tidak ada jalur aliran air yang memadai yang bisa digunakan spesies ikan untuk masuk dan atau keluar dari Rawa Camo. Hasil beberapa ekor ikan arwana Papua di Rawa Camo membuktikan bahwa sebaran ikan arwana Papua di Kabupaten Merauke juga dapat kita jumpai di danau-danau yang terisolasi. Ini menurut kami setidaknya bisa menambah wawasan baru bagi siapapun tentang teori maupun persepsi atas sebaran spesies ini. Kalau tidak ada ekspedisi ‘ngotot’ seperti kami lakukan, sampai semua pemancing yang hidup sekarang berpulang,bisa-bisa hanya paham bahwa habitat ikan arwana Papua hanya di Rawa Biru?!

Ketika kami akhirnya kembali lagi ke Kampung Toray, usai menemui teller bank termahal di dunia, kami berharap bisa segera menyelesaikan bagian terakhir ekspedisi ini dengan mengeksplorasi Sungai Kalimaru. Tetapi semangat kami rupanya tidak bisa direalisasikan dengan segera. Seminggu lebih yang lalu ketika kami menginjak desa ini untuk pertama kalinya, kami telah menyelesaikan segala urusan adat yang harus dilakukan untuk melancarkan eksplorasi. Tetapi rupanya “uang ketok pintu’ yang telah kami bayarkan itu tidak bisa untuk ‘membuka pintu’ Sungai Kalimaru. Karena alasannya adalah pemilik ulayatnya telah berbeda, lebih tepatnya keluarga pemilik ulayat Rawa Camo berbeda dengan pemilik ulayat Sungai Kalimaru. So, kami harus membayar uang ketok pintu dahulu barulah dapat berkegiatan di Sungai Kalimaru. Jadi malam itu, padahal belum ada satu detik pun gambar terekam di Sungai Kalimaru, saya sudah merogoh segepok rupiah untuk menyelesaikan hal tersebut. Jumlahnya saya pikir tidak perlu saya sebutkan disini, tetapi hampir senilai gaji saya sebulan! Inilah Papua! Mungkin hal seperti ini memang telah menjadi bagian adatnya suku-suku di Papua, tetapi tetap saja jumlahnya diluar perkiraan saya karena sangat besar dan dalam istilah saya dobel-dobel. Keluarga a b c d e f g h dan seterusnya tidak pernah habis jumlahnya dihitung, datang dan pergi silih berganti. Apapun itu saya mencoba menengok kembali misi besar dari perjalanan ini. Jadi tidak perlu saya pikir jika kita kemudian melakukan resisten berlebihan menyikapi hal ini karena tujuan besar dari perjalanan ini bisa jadi tidak tercapai. Hampir tengah malam sebelum semua pemilik ulayat di seluruh aliran Sungai Kalimaru pulang, lebih tepatnya kami minta untuk istirahat pulang karena besok pagi-pagi sekali kami akan mulai berkegiatan, saya berpesan agar mereka bangun pagi-pagi sekali sehingga kami dapat segera ‘naik’ ke hulu menuju spot-spot freshwater golden barramundi yang ada di aliran sungai ini. Mereka menjawab siap! Pagi harinya yang terjadi adalah, kami harus mencari-cari mereka ke rumah masing-masing hingga hampir pukul sebelas siang untuk kami ajak ‘naik’ ke hulu. Jawabanny amacam-macam, ada yang tiba-tiba sakit, ada yang katanya mendadak ada ini itu dan lain sebagainya. Life is cruel bro! So saya memutuskan ‘naik’ ke hulu hanya dengan ditemani kru perahu saja, yang memang tidak mungkin menghindari kami karena perahu mereka telah kami charter untuk beberapa hari ke depan.

Seperti telah saya tuliskan sebelumnya di bagian pertama catatan perjalanan ini, bahwa Sungai Kalimaru memiliki beribu dan mungkin ratusan ribu poin potensial. Berupa kelokan sungai yang dalam, rebahan pohon-pohon besar di tepian, semak belukar yang terendam air dan telah mati, dan lain sebagainya. Singkat kata Sungai Kalimaru adalah spot mancing sport yang ideal. Lebar sungai juga sangat cocok untuk aplikasi mancing spot ini karena dengan berhanyut di bagian tengah, kita bisa melempar ke kiri dan kanan badan sungai bergantian, kira-kira lebar sungai hanya sekitar 30an meter saja maksimal. Kondisi seperti ini hanya dapat kita jumpai di musim kemarau saja, di musim penghujan ratusan ribu hektar di wilayah perbatasan ini akan menjelma menjadi hutan rawa paling kompleks di dunia. Sejak awal dalam hati saya sudah yakin bahwa akan sangat mudah mencari sambaran ikan predator di sungai ini. Dan nyatanya memang demikian, dalam sehari kita bisa landed ikan freshwater golden barramundi hingga puluhan ekor per orangnya. Jujur, hal seperti ini belum pernah saya alami, untuk spesies barramundi ya?! Ini membuktikan bahwa populasi ikan di sungai ini luar biasa banyaknya! Walaupun memang terkadang ada spesies yang ‘mengganggu’ keseruan strike barramundi ini yaitu ikan sumpit (archer fish) dan juga ikan tarpoon. Tetapi bagi sportfisherman sekali lagi harus saya akui bahwa Sungai Kalimaru adalah (mungkin) satu-satunya ‘surga’ perairan tawar untuk spesies ikan barramundi. Dimanapun, di negeri ini, juga di luar negeri, ikan barramundi hanya dapat kita jumpai di perairan peralihan (payau). Tetapi entah kenapa di Merauke ini spesies ini bisa hidup di bagian hulu jauuuuh sekali dari sistem perairan payau di dekat lautan. Meski telah kelelahan meladeni sambaran ikan-ikan barramundi di Kalimaru, yang membuat saya mengeluarkan statamen di atas, masyarakat mengatakan bahwa apa yang kami alami tersebut belum seberapa, jika dibandingkan nanti jika kami misalnya tiba kembali ketika terjadi air gerak turun. Saya lupa istilahnya dalam bahasa Suku Yee, tetapi dalam setahun akan selalu ada momen pergerakan turun air ini karena tingkat kemarau yang semakin menjadi. Fenomena ini berbeda dengan pergerakan pasang surut layaknya di sungai payau/peralihan ya. Yang dalam sehari selalu akan terjadi terus menerus. Fenomena di Kalimaru ini adalah fenomena tahunan yang terjadi bukan karena pasang surut layaknya di sungai-sungai payau.

Memancing di lokasi yang susah ikan tentu menjadi tantangan dan ujian kesabaran tersendiri. Begitu juga memancing di lokasi yang berlimpah ikannya, bisa jadi merupakan tempat ujian juga. Ketika di lokasi yang susah ikan kita akan berusaha keras bagaiman acaranya mendapatkan sambaran dari ikan target. Atau akan berusaha keras menikmati alam, jika ternyata ikan target enggan menyambar. Di lokasi yang belimpah ikannya, kita dimanjakan dengan mudahnya mendapatkan sambaran ikan yang bertubi-tubi. Kenapa di lokasi yang berlimpah ikannya kita juga diuji? Begini. Sesuatu yang terlalu kurang bisa jadi memang kurang baik, tetapi sesuatu yang terlalu berlebihan bisa jadi juga memiliki potensi yang sama. Ada kecenderungan ketika berada di lokasi yang melimpah ikannya kita menjadi “asal”. Pokoke uncal seenak sendiri kemanapun tanpa berfikir dan lain sebagainya. Ini menurut saya sebuah ‘ujian’ pada sesuatu yang ‘besar’, sesuatu yang tidak biasa. Jika kita hanya ingin sesuatu yang average atau rata-rata saja ya memang sangat mudah. Tanpa kita ber-strategi sudah lebih dari cukup apa yang kita dapatkan dan juga harapkan. Tetapi jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang “beyond” tentu kita harus memberi ruang pada penyusunan strategi. Di Sungai Kalimaru, ikan freshwater golden barramundi ukuran 3-4 kilogram adalah hal yang sangat sangat mudah. Entah berapa banyaknya ikan-ikan itu di bawah setiap spot di sungai itu, karena ibaratnya dari pagi hingga sore hari, sambaran akan terus berdatangan. Tetapi ya itu tadi, value-nya menjadi average karena terlalu mudah. Jadi ikan barramundi 3-4 kilogram dalam konteks Sungai Kalimaru adalah ikan mini. Berbeda valuenya dengan size yang sama jika dipancing di pesisir Pantura Pulau Jawa misalnya. Value size yang sama di Pantura Pulau Jawa tentu menjadi “sesuatu” karena di pesisir ini populasi ikan kakap putihnya sudah semakin sedikit akibat perubahan ekosistem, pencemaran, cara tangkap tidak ramah lingkungan dan juga karena over fishing.

Saya bukan bermaksud mengatakan bahwa ikan dengan size 3-4 kilogram bukanlah sesuatu untuk tidak disyukuri. Apalagi jumlahnya melimpah. Ujian pada kondisi ini adalah apakah kita juga kemudian memiliki konsern untuk tidak menjadi rakus. Mengambil secukupnya, meskipun orang-orang kampung yang memandu kita menginginkan semuanya. Atau kemudian kita menjadi menyerah dengan ya sudahlah bawa saja semuanya toh masih banyak ini di sungainya?! Puji Tuhan saya bersyukur lulus dari ujian kerakusan semacam itu. Dalam sehari meskipun kita mendapatkan sambaran hingga puluhan ekor, hanya 1-2 saja yang kita bawa pulang. Itupun karena demi pemenuhan nutrisi seluruh anggota rombongan yang jumlah totalnya lebih dari sepuluh orang. Berbeda dengan ketika masuk ke Rawa Camo, total anggota rombongan kami ada kira-kira 25 orang banyaknya. Ada beberapa kali Bapak Pendeta di Toray juga nitip dibawakan barang satu ekor, kami penuhi permintaan beliau karena tentunya tidak mudah bagi Bapak Pendeta untuk pergi memancing seperti kami. So value yang coba terus saya tambahkan ketika berada di Sungai Kalimaru adalah bagaimana kita tetap tidak tergoyahkan dengan ‘godaan’ membawa pulang ikan yang banyak yang datangnya dari para kru lokal. Sembari memancing saya juga menularkan konsern saya yang selama ini saya lakukan dan tuangkan melalui WWI (Wild Water Indonesia). Kedua adalah dengan mengejar size yang tidak average. Ini perlu strategi mengingat kita tidak tahu sebanyak apa ikan-ikan di sebuah spot potensial tersebut, saya yakin jumlahnya ratusan karena setiap sepuluhan menit melempar pasti ada sambaran, begitu seterusnya sepanjang hari. Tidak mudah mencari size yang tidak average ketika sebuah habitat didominasi oleh ikan-ikan berukuran sedang dan atau kecil. Prinsip rantai makanan, atau prinspip piramida, menjelaskan bahwa yang ada di puncak itu selalu tidak pernah banyak jumlahnya. Dalam konteks sportfishing, ikan-ikan yang berda di puncak piramida tersebut, yang tentunya memiliki size yang besar, tidak memiliki gerakan secepat yang kecil-kecil. Juga hunting mood nya telah berbeda dibandingkan dengan ikan-ikan a be ge yang apapun ibaratnya dilahap!

Ada teori, entah siapa yang mengatakannya saya lupa, atau mungkin ini juga hanya ilusi saya saja. Ketika di sebuah habitat dodominasi oleh size ikan kategori average, tetapi kita ingin memperkecil kemungkinan disambar oleh yang average tersebut di spot yang sama, ada beberapa cara. Pertama adalah dengan mengupgrade ukuran lure kita menjadi lebih besar sehingga ikan-ikan kecil menjadi spooky melihat kehadiran umpan kita yang besar tersebut. Kedua adalah dengan meladeni semua ikan-ikan kecil terlebih dahulu, kemudian merilisnya kembali di titik yang sama, sehingga semua ikan-ikan kecil menjadi trauma untuk beberapa waktu lamanya sehingga tidak menyambar lagi umpan kita. Ketiga adalah berhentilah memancing pada jam ikan-ikan kecil sedang hunting, dan kemudian memancinglah ketika jam ikan besar kita anggap aktif. Saya memilih yang terakhir. Menarik juga ternyata rasanya menahan hasrat memancing di lokasi yang sangat berlimpah ikannya. Ada satu hari dimana ketika ikan sedang gila-gilanya menyambar umpan, tetapi ya itu tadi sizenya average, saya malah meminta kru perahu untuk merapat ke tepian yang aman dari kemungkinan adanya buaya di sekitar lokasi. Trangia saya buka dan kemudian meluangkan waktu membuat kopi sembari berbagi kisah dengan kru lokal yang setia menemani kami berhari-hari tersebut. Kapan lagi bisa mengenal mereka dengan lebih dalam? Saya berpendapat kebahagiaan memancing itu tidak melulu pada urusan mendapatkan ikan saja. Saya memutuskan untuk memancing ketika hari menjelang petang, dan hal ini saya sampaikan kepada kru lokal karena konsekuensinya jelas. Kami akan pulang ke kampung ketika hari telah gelap dan akan tiba di kampung malam hari, setidaknya pukul delapan malam. Kru lokal menyanggupi, tidak masalah katanya mau pulang atau tidak?! Melimpahnya populasi ikan di Sungai Kalimaru ketika musim kemarau memang keniscayaan. Luas hutan rawa di kawasan ini entah berapa ratus ribu hektar, dan ketika musim kemarau, semua spesies air berkumpul semuanya di Kalimaru. Jadi terbayang populasi spesies yang ada dan juga tingkat kompetisi mencari makanannya. Kalimaru juga sangat sangat minim polusi. Aktifitas cara tangkap ikan yang merusak seperti setrum dan racun ikan tidak ada. Hari itu saya bahkan sempat tidur sebentar di dalam kole-kole yang telah diteduhkan di bawah rerimbunan pohon tepian sungai. Padahal sempat terbersit pikiran liar, bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada yang iseng naik dari dalam air dan membangunkan kita dari tidur? Buaya di Sungai kalimaru tidak boleh dianggap enteng. Predator purba ini ada yang berukuran lebih besar dari kole-kole yang kami gunakan dan jumlahnya? Buanyaaaak!

Sekitar pukul setengah enam sore hari itu, saya ditemani dua kru lokal Toray bernama Yosias dan Silas, kemudian mendayung menuju ke belokan sungai dimana puluhan strike dari average size fish terjadi ketika siang hari. Saya bilang kepada dua orang kru setia saya ini untuk tenang karena ini adalah pergantian hari. Kami melewati tonggak kayu mati besar dengan cabang-cabang besar terendam air beberapa meter ke arah hulu, tonggak ini sedari siang sudah saya incar. Satu lemparan dari depan sebuah tonggak kayu tidak ada sambaran. Ada sudut kecil di antara cabang-cabang kayu yang terendam air itu dan menurut saya jika tidak ada sambaran, kemungkinan besar lure akan nyangkut di ranting-ranting yang tidak bisa saya amati kondisinya dari atas kole-kole. Karena struktur bawah sekitar tonggak kayu ini tentunya adalah rahasia yang tidak mungkin saya ungkap dahulu. Bagaimana caranya? Tetapi jika tidak melempar ke titik itu, rasanya bodoh sekali melewatkan titik potensial begitu saja hany akarena takut resiko tersangkut? Tidak perlu puluhan detik untuk memutuskan, lure sudah meluncur dan jatuh persis di sudut tersebut. Dua retrieve pada reel dan langsung ngeeeeeeek! Saya tidak kaget karena tarikannya tidak terlalu mengagetkan, saya menunggu ikan meloncat ke udara, yang berarti jika demikian sizenya pasti akan average lagi. Tetapi beberapa detik berlalu dan ikan tetap di kedalaman air, berenang kesana kesini tetapi seperti lamban. Tenaganya sangat besar tetapi tidak lincah. Buaya? Rasanya tidak mungkin karena saya merasakan adanya gerakan-gerakan layaknya ikan berenang tetapi ini memang terasa berat dan lamban. Mungkin ini size ikan yang berbeda dengan yang siang tadi kami lihat. Pertarungan berlangsung lebih lama dari perkiraan saya. Lima belas menit berlalu dan ikan baru mulai menunjukkan tanda-tanda melemah. Untung selama pertarungan kru lokal mengikuti instruksi saya untuk menjaga kole-kole terus jauh dari tepian sungai yang memiliki potensi sangkutan dari tonggak-tonggak kayu. Kole-kole terus dijaga di tengah sungai yang terbuka dan lebar. Ketika ikan kemudian menunjukkan wujudnya kami bertiga kemudian berteriak kegirangan. This is not average!

Suasana memang menjadi tidak sunyi lagi karena semuanya kemudian ada ketakutan ikan akan memberontak untuk terakhir kalinya dan terlepas. Sebelum diangkat ke kole-kole saya menebak beratnya sekitar sepuluhan kilo saja. Ketika ditimbang dengan lip grip ternyata tidak demikiankarena skala menunjukkan 15.75 kilogram! Itupun tidak bisa lagi mengangkat ekor yang masih menyentuh dasar kole-kole. Jadi tidak berlebihan jika saya tuliskan sekitar 16 kilogram! Biggest barramundi I ever caught in my life! Ikan memang terlihat sangat lemas ketika hendak saya lepaskan kembali. Sempat ketakutan ikan monster ini akan mati, tetapi saya coba terus melakukan segala sesuatu agar ikan ini kembali sehat. Saya tidak kuasa menanggung dosanya jika sampai mati karena dari satu ekor monster ini tentunya bisa dihasilkan jutaan telur ikan. Proses catch and release memakan waktu hampir sepuluhan menit, tetapi Puji Tuhan ikan kembali sehat dan kemudian berenang ke dalam kegelapan air. Rupanya dia tidak lupa meninggalkan kenang-kenangan kecil di lengan kiri saya berupa goresan kecil yang mengeluarkan darah. Hikmah yang saya pelajari ketika memancing di Sungai Kalimaru kemudian adalah, bahwa ketika kita meyakini dan menginginkan sesuatu yang besar (bisa dibaca yang berbeda dan atau yang lebih), kita bisa mewujudkannya dengan usaha yang lebih keras tetapi juga smart sembari merangkul dengan hangat siapa-siapa yang bisa bersama-sama kita mewujudkannya. Awalnya adalah perjalanan naik ke hulu melalui Sungai Kalimaru dan terlihat oleh saya ratusan struktur tepian dan perlindungan ikan yang sangat kompleks ketika kami melewatinya menuju ke Rawa Camo. Akhirnya adalah kisah yang tidak akan lekang oleh waktu dan pantas untuk disebarkan ke seluruh penjuru. Catatan ini sampai mereka mati pun sepertinya tidak akan pernah dibaca oleh dua kru lokal Suku Yee yang mengantarkan saya beberapa hari itu di Sungai Kalimaru. Tanpa komitmen dan semangat mereka, meski dengan segala warna dan juga dinamika berpetualang bersama-sama di pedalaman yang pastinya tidak semua hari-hari begitu ‘mulus’, catatan ini tidak mungkin akan tercipta! Terimakasih kawan! Teriring kembali ucapan selamat bertugas kepada seluruh personel Satgas Pamtas dari Yonif 407/Padma Kesuma. Salam wild fishing! Never stop exploring and keep inspiring!













 







 









* Pictures captured at Sungai Kalimaru, Kampung Toray, Distrik Sota, Merauke, Indonesia, August 2016. By Me & Faishal Umar. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my permission. Don't make money with our pictures without respect!!!

Comments