Skip to main content

Menimbang Kembali Mitos Ikan Lele Truno: Fenomena Alam, Muatan Supranatural dan Konservasi Tradisional di Pulau Jawa (Part 1)


Beberapa waktu lalu saya mencoba mengawali sebuah catatan kecil tentang kemungkinan adanya keterkaitan antara migrasi ikan lele lokal (Clarias batrachus) mitos ikan lele truno dengan konservasi tradisional. Para sahabat dapat membacanya di link berikut Menimbang Kembali Mitos Ikan Lele Truno dan Konservasi Tradisional diPulau Jawa (Part 1). Catatan kecil yang terlalu apa-adanya tetapi setidaknya itu bukanlah hasil dari copy paste dari jagat internet, yang terkadang bagai labirin yang membingungkan itu, melainkan hasil perenungan seorang anak desa yang mencoba merawat perairan di negeri ini dengan segala cara yang bisa. Saya akan melanjutkan kembali catatan kecil tentang ikan lele truno ini dan memperkuatnya dengan hasil jalan-jalan saya di pedesaan Malang Selatan, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Saran saya adalah sebaiknya sahabat sudah membaca “bagian pertama” catatan tersebut sebelum kembali lagi untuk membaca “bagian kedua” ini. Karena jika tidak, kedangkalan pemahaman dan juga minimnya kemampuan saya dalam menuliskan sesuatu malahan akan membuat para sahabat semuanya menjadi ‘tersesat’. Berikutnya saya juga sudah mempersiapkan materi audio visual sebagai referensi yang meski dibuat dengan semangat ndeso tetapi bisa menjadi pelengkap untuk ‘menikmati’ catatan sederhana ini. Ada tiga buah link di YouTube-nya Wild Water Indonesia yang bisa para sahabat kunjungi yakni; (1). Wild Water Indonesia – Lele Berjalan di Darat / Walking Catfish (2). Wild Water Indonesia – Misteri Ikan Lele Truno di Pulau Jawa Part 1 (3). Wild Water Indonesia – Misteri Ikan Lele Truno di Pulau Jawa Part 2.

Ikan Lele Truno Bukanlah Mitos Melainkan Kenyataan

Ketiga buah materi audio visual link yang ada di dalam YouTube-nya Wild Water Indonesia tersebut merupakan hasil tiga kali wawancara yang saya lakukan dengan para saksi mata (kemudian disebut sebagai narasumber) fenomena alam ini:
WAWANCARA 1: Pewawancara: Michael Risdianto (39th). Narasumber 1: Mbah Sukar (80th). Alamat: Dusun Krajan Wetan, Karangrejo Selatan, Purworejo, Kecamatan Donomulyo, Kab. Malang, Jawa Timur. Tanggal: 26 November 2017. Saksi: Mbah Ndoyo (48 th), anak Mbah Sukar. Florentinus Suko Widodo (41th).
-       WAWANCARA 2: Pewawancara: Michael Risdianto (39th). Narasumber 2: Sumaji (60th). Alamat: Dusun Kalitelo, Desa Kaliasri, Kecamatan Kalipare, Kab. Malang, Jawa Timur. Tanggal: 3 Desember 2017. Saksi: Florentinus Suko Widodo (41th).
-       WAWANCARA 3: Pewawancara: Michael Risdianto (39th). Narasumber 3: Eko Santoso (37th). Alamat: Dusun Kalitelo, Desa Kaliasri, Kecamatan Kalipare, Kab. Malang, Jawa Timur. Tanggal: 5 Desember 2017. Saksi: Florentinus Suko Widodo (41th). Catatan: Khusus WAWANCARA 3 materi audio visualnya tidak saya upload ke YouTube karena secara konten telah terwakili oleh dua wawancara sebelumnya.

Kesimpulan sederhana dari ketiga wawancara tersebut, adalah bahwa keberadaan ikan lele truno bukanlah mitos, melainkan kenyataan akan tetapi memiliki banyak ‘muatan’ supranatural. Muatan supranatural ini bahkan telah melekat demikian erat karena momen migrasi ini tidak memiliki waktu dan tempat yang bisa diprediksi sedemikian rupa layaknya migrasi spesies ikan pada umumnya. Memang ada setitik kelemahan karena tidak pernah ada dokumentasi visual yang memadai untuk mendukung hal ini. Titik kelemahan data ini bagi saya pribadi dapat saya maklumi mengingat waktu kejadian tersebut berlangsung dan apalagi jika kita pahami kondisi masyarakat saat itu yang mana sesuatu yang bernama peralatan dokumentasi bukanlah barang yang familiar dalam aktifitas sehari-hari masyarakat pedesaan. Bahkan hingga hari ini. Meski kemudian saya, berdasarkan wawancara tersebut menyatakan bahwa ikan lele truno bukanlah mitos, mendapati bahwa ada banyak ‘muatan’ supranatural yang terkandung dalam fenomena migrasi ikan lele LOKAL di Pulau Jawa ini mengingat banyaknya momen dalam migrasi tersebut yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Muatan supranatural inilah yang kemudian membuat fenomena alam menjadi sulit dipahami, dan juga sulit dijelaskan, dan kemudian menjadi sulit diterima oleh umum seperti fenomena-fenomena alam lainnya yang memang hanya murni merupakan sebuah fenomena alam. 

Mereka Yang ‘Beruntung’ Pernah Melihat Ikan Lele Truno

Kini ijinkan saya untuk memaparkan secara garis besar informasi yang saya dapatkan dari ketiga wawancara tersebut. Yang pertama akan saya tuliskan adalah keterangan dari Mbah Sukar (80th). Dia adalah warga Dusun Krajan Wetan, Desa Purworejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lahir tahun 1937. Melihat ikan lele truno pada tahun 1959. Ketika melihat migrasi ikan lele yang dipimpin oleh ikan lele truno tersebut dirinya berusia 22 tahun. Yang artinya seorang pemuda gagah perkasa dan tidak memiliki rasa takut terhadap apapun apalagi terhadap dunia roh. Musim kemarau kerontang sedang meraja di wilayah ini. Malam itu bulan purnama. Bagi dirinya adalah saat yang tepat untuk untuk jalan-jalan ke desa lain di pedesaan Malang Selatan menjumpai para sahabat. Saat itu wilayah ini merupakan persil-persil karet peninggalan Belanda. Di sebuah perempatan jalan aspal bekas peninggalan Belanda di Dusun Karangrejo Selatan dia kemudian termangu menunggu seorang kawan. Malam cukup benderang karena cahaya bulan, tak lama kemudian datanglah salah satu sahabatnya. Tetiba keduanya terkejut dan menengok ke arah timur, ke sebuah tanjakan karena ada suara kemerosak (seperti suara daun kering diinjak-injak) menuju ke arah mereka. Suara yang kemudian menjadi semakin keras dan dekat dengan tempat mereka berdua berdiri. Menit-menit berikutnya adalah momen menegangkan yang membuat keduanya kamitenggengen (tidak mampu bergerak / terpaku) dan blangkemen (tidak bisa berbicara). Ribuan ikan lele bergerak menuju ke arah barat, menyusuri jalanan aspal peninggalan belanda di musim yang kerontang?! Paling depan adalah ular weling (Bungarus candidus), sekitar satu meter di belakang ular weling adalah ikan lele truno, dan di belakangnya adalah pasukan ikan lele berjumlah ribuan ekor. Semuanya bergerak ‘melaju’ menuju ke arah barat. Saat itu keduanya tidak bisa berfikir apa-apa selain terkejut dan merinding.


Mbah Sukar (80th) menyatakan bahwa dirinya tidak takut dengan segala macam hantu, tetapi saat itu dia merinding, kamitenggengen dan blangkemen. Sekitar 100 meter di arah timur, arah datangnya ribuan ikan lele, memang ada sungai kecil. Yang bisa jadi dari sanalah ikan-ikan lele tersebut berasal. Akan tetapi di arah barat, sungai terdekat kurang lebih 1 kilometer jauhnya. Bagaimana menjelaskan ribuan ikan lele yang mampu bergerak di jalanan beraspal dan berbatu yang mulai rusak, di musim kemarau?! Kemudian bagaimana menjelaskan ikan lele truno yang hanya berkepala lele tetapi bagian belakangnya adalah duri saja?! Kemudian keberadaan ular weling yang berada di paling depan?! Saya membuat video pendek tentang kemampuan ikan lele ‘berjalan’ di lantai rumah salah satu relawan Wild Water Indonesia di Malang Selatan, sekedar demi memahami kemampuan spesies ini ‘berjalan’ di daratan, memang mengaggumkan, akan tetapi hanya mampu ‘berjalan’ di atas keramik rumah sekitar 2 menit saja setelah itu terdiam karena kelelahan. Mungkin karena ikan ini sendirian? Tidak ada kawan yang membantunya? Mbah Sukar mengatakan bahwa saat itu ribuan ikan lele tersebut seperti ‘berjalan’ di darat dengan saling tindih, semacam saling bantu sehingga badannya akan terus licin dan kemudian bisa ‘berjalan’ terus menuju arah yang dituju. Kejadian tersebut berlangsung selama kurang lebih setengah jam lamanya.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa ikan lele memang mampu bertahan tanpa air selama 24 jam dengan terus bergerak tidak tentu arah (sepertinya mencari sumber air dan atau tempat teduh). Artinya sangat mungkin bahwa ikan lele lokal tersebut mampu ‘berjalan’ di atas jalanan beraspal di depan Mbah Sukar dan sahabatnya malam itu. Dengan kemampuan bertahan di daratan selama itu, sangat mungkin bahwa spesies tersebut mampu menempuh satu kilometer menuju ke sungai terdekat. Jika memang mereka saat itu menuju ke sungai tersebut. Hal ini tentunya adalah pemahaman yang sederhana, ikan tentu akan menuju dan atau mencari tempat yang ada airnya bukan? Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah ular weling di bagian depan dan ikan lele truno yang tanpa daging, hanya duri dan kepala saja. Mungkinkan spesies perairan mampu hidup hanya dengan badan yang berduri tanpa daging? Tanpa insang? Bagaimana dia makan dan tumbuh? Kita tidak berbicara ke-Tuhanan dahulu ya. Karena kalau kita sederhanakan bahwa apapun yang Tuhan Yang Kuasa inginkan tentu akan terjadi. Saya jujur saja tidak mampu memahami tentang kenapa ribuan ikan lele harus ‘dipimpin’ oleh ular weling dan kemudian di belakangnya ada ikan lele truno. Migrasi spesies perairan adalah sesuatu yang biasa, hampir semua jenis ikan memiliki fase migrasinya masing-masing. Tetapi untuk fenomena yang dihadiri oleh ikan lele truno tersebut, kenapa mereka memilih “potong kompas” melalui daratan dan bukannya melalui air? Bukankah sudah semestinya jika ikan berpindah ke habitat lain akan melalui alur air? Atau jangan-jangan fenomena migrasi ini adalah hal biasa yang dilakukan oleh spesies ikan lele lokal? Hanya saja kebetulan ada ular weling yang ikutan misalnya? Dan atau ada ikan lele yang kurang makan yang juga ikut migrasi yang kemudian disebut ikan lele truno itu? Jika hal ini hanyalah fenomena migrasi ikan biasa, kenapa dalam sebuah unit sosial, dalam waktu berpuluh tahun hanya 1-2 orang saja yang pernah melihatnya? Dan kenapa pula kemudian orang-orang jaman dahulu berpesan agar proses migrasi ini jangan diganggu karena bisa mendatangkan ‘petaka’ bagi orang yang mengganggunya? Apakah hal itu sekedar sebagai ‘pagar’ konservasi tradisional pada jaman dahulu? Ataukah karena memang ‘ada sesuatu’ yang tidak bisa kita mengerti dibalik ini semua?

Mbah Sumaji (60th) yang saya wawancarai pada tanggal 3 Desember 2017 menegaskan bahwa perpindahan ikan lele besar-besaran yang dipimpin oleh ikan lele truno bukanlah proses perpindahan ikan yang boleh dianggap biasa saja. Apapun istilah untuk menyebut kejadian ini, mau itu disebut pudungan, ngendil, dan lain-lain. Kenapa dia bisa berkata demikian? Karena selain melihat proses migrasi yang ada ikan lele truno-nya yang menurutnya wingit (penuh aura mistis) tersebut, dia sering melihat proses migrasi yang biasa. Proses migrasi ikan lele yang normal sewajarkan spesies ikan yang hidup di air sering dia lihat di sebuah alur kecil di Desa Kalitelo dekat rumahnya, jumlahnya juga ribuan, dan itu bisa berarti migrasi naik ke hulu maupun ke hilir sungai dan yang pasti semuanya melalui alur air. Tidak ada ikan lele truno-nya. Dan meski sulit juga untuk ditangkap (baik dipancing maupun dijaring), masyarakat tidak takut sama sekali untuk mengambilnya.

Pengalaman Mbah Sumaji (60th) melihat ikan lele truno bisa jadi lebih mistis dan tidak masuk akal lagi. Saat itu tahun 1979 sekitar pukul 18.00 WIB dia dan salah satu kawannya (sudah almarhum) berada di sebuah kelokan sungai kecil (lebar sekitar 5 meter) di dekat kampungnya untuk memancing. Peralatan tradisional dan umpan cacing sudah siap untuk mulai memancing. Musim penghujan dan sungai sedang banjir besar. Arus di kelokan sungai itu sangat deras tetapi ada bagian yang tenang karena arus selalu menghantam bagian tebing di seberang. Belum juga dia dan kawannya mendapatkan sambaran dari ikan target, mereka melihat ada sekitar 10 ekor ikan lele sebesar lengan orang dewasa berkecipak di seberang dan meloncat ke gampengan (semacam sisi sungai yang tinggi / tebing, agak landau di awal tetapi kemudian terus menanjak). Setelah 10 ekor ikan lele ini berada di daratan dan terus kelogetan (bergerak layaknya binatang dengan tulang lentur layaknya ular) munculah dari dalam air satu ekor ikan lele truno yang hanya berkepala lele tetapi seluruh badannya adalah duri tersebut. Kelompok kecil ini kemudian bergerak bersama menuju ke puncak gampengan. Jarak tepi air dengan puncak gampengan setinggai sekitar 5 meter tersebut sekitar 30an meter. Bersemak lebat dan juga terdapat banyak sekali pohon besar seperti mahoni dan lain-lain. Selama proses kejadian tersebut mulut Mbah Sumaji dan satu kawannya seperti ‘terkunci’ di tepi sungai dengan badan bergetar, ketakutan. Tetapi mata keduanya terus mengamati kejadian. Berniat lari tidak bisa karena badan seperti menancap di pinggir sungai itu. Belum hilang rasa takut yang melanda, ketika ikan lele truno sudah mencapai puncak gampengan, tiba-tiba dari dalam air kemudian muncul ribuan, ribuan ikan lele lainnya yang kemudian ‘naik’ ke darat, ke gampengan menyusul ikan lele truno yang sudah berada di puncak gampengan. Suaranya begitu berisik. Ditambah dengan gerakan dan kecipak air, suara banjir, petang yang menjelang, suasana saat itu menurut Mbah Sumaji benar-benar wingit, atau penuh aura mistis.

Saya iseng bertanya apakah tidak ada kepikiran untuk mengambil beberapa ekor ikan itu? Lumayan khan mumpung ada ribuan ekor ikan lele di depan mata? Mbah Sumaji menjawab tidak mau, banyak kejadian yang aneh di kampungnya jika masyarakat mengganggu hal-hal yang ada aura mistis-nya seperti itu. Tidak jauh dari tempatnya melihat ikan truno lele tersebut misalnya, di arah hulu sungai sekitar 50 meter jauhnya, Mbah Sumaji mengatakan ada sebuah mata air yang dinamakan Mbelik Cupit (Sumber Cupit). Pernah ada masyarakat melihat banyak ikan di sumber air tersebut dengan membacok ikan lele yang ada menggunakan sabit. Dilakukan ketika nyuluh, mencari ikan malam atau petang hari dengan penerangan lampu. Pada saat bersamaan, salah satu keluarga masyarakat yang membacok ikan lele di Mbelik Cupit tersebut konon juga mengalami kejadian aneh karena sekarat, seperti ikan lele yang juga sedang sekarat di Mbelik Cupit karena dibacok.


Eko Santoso (37th) yang kebetulan adalah salah satu relawan WWI Region Malang Selatan, narasumber termuda dalam penelusuran saya terkait ikan lele truno, mengatakan bahwa dirinya juga melihat migrasi ribuan ikan lele persis di Mbelik Cupit tersebut. Saat itu dia masih kelas 5 SD. Kejadian berlangsung sekitar pukul 23.00 WIB, dia bersama du aorang pamannya baru saja usai bekerja mencetak batu bata dan kemudian memutuskan untuk mandi di Mbelik Cupit. Arah datangnya ribuan ikan lele dari arah hilir sungai. Akan tetapi dia tidak dapat melihat dengan jelas ikan lele truno yang ada diantara ribuan ikan itu. Yang pasti sebelum ribuan ikan lele itu kemudian menghilang entah kemana, dia telah berhasil menangkap dua ekor ikan lele, diwadahi ember dan kemudian dibawa pulang. Maksud hati esok hari akan dimasak untuk lauk pauk. Akan tetapi ketika tidur dia kemudian mengalami mimpi yang sangat ganjil, seorang renta datang memintanya untuk mengembalikan kedua ekor ikan lele tersebut kembali ke Mbelik Cupit jika tidak ingin celaka. Pagi hari, tanpa berpikir panjang kemudian mengembalikan kedua ekor ikan tersebut ke Mbelik Cupit. Dia takut mengalami kejadian yang tidak diinginkan jika tidak menuruti ‘perintah’ dari entah siapa tersebut.

Sekilas gambaran tentang Mbelik Cupit. Terletak di ujung Dusun Kalitelo sebelah utara tepatnya di Kampung Pedot RT 01 RW 07. Desa Kaliasri, Kecamatan Kalipare. Sebuah mata air kuno yang disakralkan oleh masyarakat sekitar. Ketika berlangsung musim kemarau panjang warga sekitar selalu melakukan ritual baritan untuk meminta hujan di tempat ini. Selain sesajen masyarakat juga akan membawa dawet yang dibuat dari tepung sagu. Setelah didoakan seluruh dawet yang dibawa oleh masyarakat kemudian akan diguyurkan atau dibuang ke segala arah, hujan dawet istilahnya sebagai penguat permohonan meminta hujan. Maksud saya adalah, Mbelik Cupit adalah sebuah mata air yang dalam konteks hubungan manusia dengan roh-roh, bisa jadi hal ini merupakan warisan dari jaman animisme, adalah tempat yang sangat penting. Ritua baritan ini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat karena konsep kepercayaan yang kini berkembang telah jauh berbeda.

Semangat saya menelusuri tentang mitos ikan lele truno ini secara tidak terduga mendapatkan beberapa ‘bonus’ yang menarik. Seorang sahabat di Tulungagung, Jawa Timur bernama Mbah Sukram mengatakan bahwa dirinya juga pernah melihat fenomena migrasi yang aneh ini pada tahun 1991.  Seorang sahabat di Blitar, Jawa Timur bernama Bagus Cahyono mengatakan bahwa kakeknya yang merupakan seorang bajingan (sais pedati) pernah melihat ikan lele truno dan pasukannya menyeberang jalan beraspal entah kemana. Seorang relawan WWI Region Malang Selatan bernama Yoga Arif Dianto mengatakan bahwa neneknya yang berusia 117 tahun dan masih hidup hingga tulisan ini dibuat mengatakan cerita yang dia ketahui dari kakek neneknya dahulu, bahwa asal muasal ikan lele adalah onthel, bakal buah yang masih sangat muda, atau fase setelah bunga dari tanaman kluwih (Artocarpus camansi).

Aturan Gedebok Pisang, Mahkluk Halus, dan Rumitnya Memahami Pesan

Ada anggapan umum di berbagai pelosok Pulau Jawa yang mengatakan bahwa siapapun yang melihat momen migrasi ribuan ikan lele yang dipimpin oleh ikan lele truno ini sebenarnya boleh mengambilnya, dan tidak akan terkena konsekuensi tidak baik apapun akan tetapi dengan syarat. Cukup sederhana syaratnya, manusia dipersilahkan mengambil gedebok (pohon pisang) dan menghalangi ribuan ikan lele itu di bagian belakang rombongan. Pernyataan ini saya tanyakan di pelosok Malang Selatan ke orang-orang tua termasuk narasumber dan semuanya mengiyakan, bahwa memang benar begitu ‘aturan’-nya jika ingin mengambil ikan lele yang sedang migrasi tersebut. Atau juga jika bukan gedebok-nya (satu batang) bisa juga menggunakan pelepah gedebok-nya saja. Ikan lele yang terjebak oleh halangan gedebok pisang ini boleh diambil dan dikonsumsi. Saya meyakini kita semua mengetahui bahwa gedebok dan pelepah pisang sangatlah licin. Badan ikan lele jauh lebih licin. Jadi kira-kira kebayang kan berapa banyak ikan lele yang akan terjebak karena tentunya hampir sebagian besar ikan lele akan dengan mudah melewatinya. Bahkan ikan lele ini pun bisa melompat melewati halangan, apalagi halangan yang ada licin dan hanya selebar pohon pisang yang direbahkan? Di sini kita kemudian memahami bahwa ada pesan pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable) dalam aturan tidak tertulis untuk manusia yang berniat mengambil ikan lele migrasi ini. Ada yang sangat menggelitik dalam hal ini. Jangankan manusia yang melihat migrasi ikan lele ini kemudian bisa memotong gedebok pisang, dan membawanya untuk menghalangi ikan lele tersebut. Lha bergerak saja tidak mampu?! Atau let say ada manusia yang mampu menaklukan rasa terkejut dan takut menghadapi momen ini, apakah ada pohon pisang di dekatnya? Kalaupun ada mungkinkah dia sedang membawa alat potong? Kalaupun membawa alat potong dekatkah jarak pohon pisang tersebut? Kita anggap kemudian manusia tersebut tidak setengah mati ketakutan, membawa alat potong, dan ada pohon pisang di dekatnya. Apakah dia akan memotong pohon pisang yang kecil, tidak mungkin, karena tidak akan bisa menjadi penghalang. Artinya harus memotong pohon pisang yang besar. Bisa dibayangkan beratnya memanggul satu gedebok pisang berukuran besar?! Haha! Saya harus mengakui, pencetus konsep konservasi tradisional ini, dia sangat sangat hebat hebat!

Berikutnya tentang “yang terjadi ketika manusia kemudian memutuskan mengambil ikan lele tersebut tidak dengan gedebok pisang”. Tidak mengikuti aturan. Makhluk halus akan datang melalui mimpi memberi peringatan, datang langsung melalui suara dan penampakan, dan datang dalam bentuk konsekuensi tidak baik bagi kehidupan manusia jika apa yang dia katakan tidak dituruti. Jika makhluk halus tersebut menyatakan segala hal tertulis di atas tepat ketika manusia mengambil ikan lele tanpa aturan pada saat itu, akan sangat mudah dijelaskan. Bahwa memang migrasi ikan lele tersebut dijaga oleh makhluk halus dan saat itu doi  juga sedang ada di TKP. Akan tetapi mimpi? Apakah benar bahwa ketika manusia mengambil ikan lele tanpa aturan “gedebok pisang” yang datang kemudian adalah sebenarnya makhluk halus? Ataukah hal itu merupakan wujud ketakutan baru manusia yang terjadi kemudian pasca kejadian. Wujud ketakutan baru yang merupakan kelanjutan pasca mengalami sebuah momen yang menakutkan (trauma). Wujud ketakutan baru saking merasa sangat bersalah? Tentang mimpi ini jujur saja saya menemui kesulitan mengurainya. Begitu juga dengan suara-suara dan penampakan. Meski saya mendapati ada keseragaman pesan karena mimpi, suara, dan penampakan membawa pesan yang sama agar manusia mengembalikan ikan lele yang telah diambil tanpa aturan pemanfaatan yang berkelanjutan (baca: aturan gedebok pisang). Dan jika pesan diabaikan, akan datang malapetaka menimpa. Manusia kemudian berfikir, seperti dilakukan oleh Eko Santoso (37th) setelah mengalami mimpi, daripada mengalami kejadian yang tidak dia inginkan, ya lebih baik mengembalikan ikannya. Toh ikan masih bisa dicari lagi bukan di lain waktu? Lha kalau kemudian terkena malapetaka karena mengabaikan permintaan makhluk halus?

Agak melenceng sedikit akan tetapi hal ini bisa menambah pemahaman kita terkait mimpi. Mbah Ndoyo (48th) pernah mendapatkan seekor belut putih di sebuah mbelik/sumber air dekat rumahnya ketika nyuluh ikan. Dia bawa pulang ke rumah rencananya esok pagi akan dia masak berbarengan dengan ikan-ikan yang lain. Dalam tidur kemudian dia bermimpi, datang seseorang yang berkata kepadanya dalam bahasa Jawa,”Lek anakmu ngko tak jumuk opo kowe gelem? Jika suatu hari anakmu juga kuambil apakah kamu mau?” Seseorang dalam mimpi itu menyatakan bahwa belut putih itu adalah anaknya. Dia tidak minta dikembalikan. Tetapi kata-katanya juga mengandung arti, bahwa jika Mbah Ndoyo tetap berniat memasak belut putih itu, yang artinya belut putih akan mati, maka suatu hari anak Mbah Ndoyo akan diambil juga oleh seseorang dalam mimpi itu. Yang artinya adalah akan dimatikan atas keinginan seseorang dalam mimpi itu. Saya percaya dunia roh ada, bukankah kita mempercayai adanya surga dan neraka? Mbah Ndoyo bukanlah seorang penakut, salah satu jagoan paling kesohor di Malang Selatan. Artinya menurut saya tidak mungkin mimpi itu adalah wujud baru sebuah rasa bersalah dan ataupun rasa takut. Jadi? Mungkinkah ada roh di dunia ‘sebelah’ kita yang peduli dengan spesies perairan? Baik itu ikan lele dan belut putih, dan spesies-spesies lainnya? Terkait dua ekor ikan lele yang diambil oleh Eko Santoso (37th) misalnya, hal itu terjadi karena dia tidak mengikuti aturan keberlanjutan yang telah disepakati berabad sebelumnya? Dan terkait belut putih-nya Mbah Ndoyo adalah karena itu adalah spesies langka sehingga dia kemudian mengingatkan manusia agar lebih peduli? Dan atau karena memang belut putih itu adalah peliharaan roh tersebut? Mungkinkah roh-roh juga memiliki minat tertentu pada ekosistem perairan. Lebih jauh lagi memiliki konsern pelestarian perairan? Saya tidak mampu menjawabnya.


Saya ingin menutup catatan ini dengan kembali ke migrasi ribuan ikan lele yang ‘dipimpin’ oleh ikan lele truno dengan beberapa buah pertanyaan yang juga saya tujukan untuk diri saya sendiri. Kenapa kini kemudian fenomena alam yang ‘gagah’ dan wingit ini semakin jarang kita dengar terjadi lagi? Apakah karena kehidupan manusia modern, peradaban modern telah demikian perkasa merubah kondisi sebuah ekosistem perairan? Pencemaran oleh limbah rumah tangga dan limbah lainnya menerjang perairan darat hampir setiap tahunnya? Laku manusia memanfaatkan potensi ikan di sebuah perairan dengan cara yang destruktif seperti setrum dan racun ikan yang kemudian membuat regenerasi ikan terganggu dan populasinya pun menurun secara drastis? Sebagai gambaran, populasi spesies ikan lele lokal di Pulau Jawa saat ini sudah sangat mengkawatirkan. Banyak relawan Wild Water Indonesia di berbagai daerah di Pulau Jawa bahkan mengatakan spesies ikan lele lokal di daerah mereka sudah mendekati kepunahan. Belum lagi dengan maraknya Spesies Asing Invasif (SAI) yang banyak ditebar oleh orang tidak bertanggung jawab di perairan umum? Yang mana SAI ini kemudian merusak rantai makanan dan keberagaman spesies asli yang ada, yang juga telah terdegradasi sebelumnya oleh pencemaran dan destruktif fishing? Belum lagi dengan laku dari aktifitas legal, memancing misalnya, tetapi malahan membuat suatu habitat mengalami over fishing karena para pemancing tidak peduli dengan namanya bag limit, mengambil ikan dari perairan umum sewajarnya, tidak berlebihan?

Atau mari berfikir out the box sebentar. Bisa jadi populasi ikan lele lokal di perairan umum Pulau Jawa sebenarnya masih banyak. Namun makhluk halus  atau roh dan atau sang ikan lele truno kemudian memutuskan tidak lagi melakukan migrasi kemana-mana, dan memilih untuk terus bersembunyi di satu titik habitat sebaik mungkin, demi mengamankan keberlangsungan spesies ini. Kenapa bisa demikian, sebab roh-roh dan ikan lele truno mengetahui bahwa sebagian besar manusia modern saat ini begitu ‘hebat’ (baca: begitu merusak) dalam memperlakukan sebuah karunia. Contohnya ya terkait mengambil ikan di perairan umum, yang masih bisa dipancing dan dijaring, akan tetapi kini malah dominan dengan menggunakan setrum ikan dan racun ikan (baik racun kimia maupun racun alami). Sehingga daripada sedang seru-seruan migrasi kemudian seluruh koloninya diangkut oleh manusia yang melihatnya, roh-roh dan ikan lele truno kemudian memutuskan untuk menghentikan kisah ‘nomaden’-nya. Karena ikan lele truno adalah ‘pemimpin’, niatan sang ikan lele truno ini kemudian ‘diamini’ oleh seluruh koloninya sehingga fenomena migrasi ribuan ikan lele pun tidak dilakukan lagi. Karena saya manusia, saya tidak bisa menuliskan apa yang kira-kira dipikirkan oleh ikan lele truno dan ataupun roh-roh.

Pertanyaan terakhir. Jika manusia memang memiliki peran signifikan dalam hilangnya fenomena migrasi ribuan ikan lele dan keberadaan ikan lele truno ini, mungkinkah manusia jika kemudian mengambil tanggung jawab untuk mewujudkannya kembali fenomena alam tersebut melalui hal-hal sederhana dalam memperlakukan alam secara lebih ramah, lebih bijaksana?! Dari Malang Selatan untuk masa depan perairan Indonesia yang lebih baik. Salam lestari!(Malang Selatan, 8 Desember 2017)

* Pictures captured at South Malang, East Java by various person. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!

Comments

Unknown said…
yang saya dengar dari nara sumber langsung yang pernah ketemu lele trunyo, bahwa dibelakang rombongan lele trunyo tsb bukan hanya lele saja tapi juga ikan - ikan jenis lainnya yang ingin ikut cari sumber air lainnya,,,,
Unknown said…
Ikan jenis lainnya ini yang baru saya dengar Pak. Terimakasih informasinya... Salam lestari...
Unknown said…
Terimakasih infonya sangat menarik http://bit.ly/2OZLaHI
Irwan said…
Saya juga pernah menemui dan sempat juga saya angkat untuk ditunjukan kepada bapak saya.. Akhirnya bapak bilang suruh lepasin lagi takutnya ada apa2.. Kejadian di surabaya saat itu saya masih sd.. Sekarang usia saya udah 30an
Unknown said…
Mungkin truno itu sejenis glass fish, atau memang lele tapi transparan.
Unknown said…
Waktu kecil saya pernah melihat tahun 90an ukuranya agak kecil kepalanya 3jari orang dewasa...tapi berada di sendang yang kebetulan ndas kali bukan pada saat migrasi...
ternyata kakek saya dan adiknya tahun 60 pernah melihat pada saat migrasi yg kebetulan sungainya sama..
blm ada sebulan saya ngobrol masalah ini,tetangga saya juga bercerita thn 70an sempet melihat dan mengambilnya,sempet dibakar malah.tapi bentuknya berubah merekah seperti (singkong bakar)dianya gak jadi makan