Catatan ini pertama kali duplikasikan untuk WildWaterIndonesia.Org. Malam hari selepas pukul 19.00 WIB saya kembali berada di
sebuah desa kecil di Malang Selatan, kampung halaman saya. Hujan yang turun
sejak pukul 15.00 WIB ketika kami (saya, adik saya, keponakan berusia 3,5
tahun, dan seorang jelita dari benua yang sangat jauh) mulai meninggalkan kota
Malang rupanya masih menyisakan gerimis dan dingin yang menusuk tulang. Bunyi
gemericik yang semakin mengecil dari cucuran atap masih terdengar menerpa
lantai halaman rumah yang sebagian berlumut. Jalanan tampak berkilauan basah.
Pekarangan dan seluruh penjuru kampung masih dipeluk dingin. Selokan jalan juga
masih penuh dengan air dan mengalir deras menuju ke sungai yang letaknya
sekitar lima puluh meter di timur rumah. Biasanya bunyi berderu dari sungai yang
banjir bisa terdengar sampai rumah tetapi hari ini samar terdengar karena suara
sound system dari rumah di seberang rumah kami yang mulai mengalunkan lagu-lagu
dangdut koplo. Panggung telah berdiri
dan sepertinya benar jadi bahwa hari ini mereka akan menggelar semacam
pagelaran kuda lumping skala kecil sebagai bagian dari agenda rutin bulanan
paguyuban. Pesimis akan ditunda memang sempat menyeruak mengingat hujan yang
begitu deras juga terjadi di kampung ini sejak siang tadi.
Sebenarnya bukan dalam rangka ingin melihat kuda lumping
kami keluar dari hiruk pikuk kota Malang. Tujuan utama kami adalah membawa
seseorang yang penting dari benua yang sangat jauh tersebut agar melihat desa
kami meski sekejap. Agar bertemu dengan kakek nenek kami dan ikut merasakan
detak nadi kehidupan sebuah desa kecil di Pulau Jawa di sebuah negeri indah
namun carut marut bernama Indonesia. Yang menarik dia, seseorang dari benua
yang sangat jauh ini, rupanya juga begitu penasaran dengan pagelaran kuda
lumping yang akan digelar malam ini, sehingga kemudian dia tidak keberatan
untuk kembali ke kota tengah malam nanti usai pagelaran, padahal keeseokan
harinya dia harus terbang kembali ke tempat yang sangat jauh dari desa kami
ini. Hal ini menjadi penyemangat tersendiri bagi saya karena ketika begitu
banyak saudara kita sendiri abai dengan seni tradisional, orang dari negeri
antah barantah begitu penasaran dan ingin menikmatinya sebisa mungkin. Rintik
hujan tetap turun membasahi bumi akan tetapi dingin hujan semakin pudar seiring
hadirnya para penonton semakin nyata seiring semakin dekatnya waktu pagelaran
dimulai.
Jika saya amati, kerumunan orang yang ada malam itu jika ditotal
tidak lebih dari 150 orang. Tidak seberapa banyak untuk sebuah pagelaran kuda
lumping mengingat kesenian ini sangat popular di pedesaan Malang Selatan. Bisa
jadi karena pengaruh hujan sedari siang hingga menjelang malam masyarakat
enggan keluar rumah. Meski begitu sebuah kesenian tradisional tetaplah ‘magnet’
yang kuat di pedesaan. Ada beberapa pedagang makanan telah membuka lapaknya dan
salah satunya ada di teras rumah orang tua saya, berdagang rujak cingur.
Pagelaran kemudian dibuka oleh sesepuh paguyuban kuda lumping Turonggo Margo Mulyo dan kebetulan ndilalah kersaning Allah (memang sudah
kehendak Allah) merupakan salah satu relawan dari WWI Region Malang Selatan,
Mbah Mismun (58 tahun). Beliau memang sangat kondang di ‘ranah’ kesenian
tradisional kuda lumping di Malang Selatan sehingga apapun paguyuban yang
menggelar pementasan hampir selalu didaulat menjadi pembawa acara dan juga
pengayom paguyuban tersebut. Selain beliau sendiri memang memiliki kelebihan
dan keilmuan yang tinggi termasuk di antaranya adalah mampu menyembuhkan para
pemain kuda lumping yang kerasukan. Sehari-hari Mbah Mismun adalah petani dan
juga didaulat masyarakat menjadi pengatur air di persawahan (kuwowo). Jauh sebelum dibuka, para
relawan WWI Region Malang selatan lainnya sudah memasang banner kampanye
perairan yang berisi larangan stop setrum racun dan bom ikan di panggung.
Padahal ini sebenarnya tidak direncanakan. Tetapi mengingat banyaknya relawan
yang hadir, dan ada yang membawa banner
himbauan stop destruktif dan illegal fishing, kenapa tidak kami maksimalkan?
Oleh karenanya kemudian saya dan beberapa relawan kemudian kulo nuwun ke tuan rumah (Mas Eko Dongkrak) agar kami diijinkan
numpang menyebarkan pesan kegelisahan perairan Indonesia. Dan tentu saja
diiyakan dengan senyum lebar. Tuan rumah malah senang, termasuk juga seluruh
anggota paguyuban. “Masuk TV!”, kata mereka. Padahal sudah beberapa kali saya
mengatakan ke entah berapa banyak orang di seluruh negeri ini, bahwa saya sudah
tidak bekerja di TV lagi. Tetapi mereka sepertinya tidak peduli, nama saya memang
begitu melekat dengan sebuah stasiun TV swasta di Jakarta. Karena saya tidak
ingin mengecewakan mereka, karenanya kemudian saya menjawab,”Nggih pak, WWI TV!”
Mbah Mismun (58 tahun) membuka pagelaran dengan semacam sambutan
singkat tetapi dengan bahasa Jawa yang sangat halus. Sebagian sulit saya
mengerti karena bahasa-bahasa seperti itu selain sangat formal dan halus juga
hanya digunakan dalam acara-acara yang dianggap penting saja. Tetapi jika saya
rangkum antara lain bahwa malam ini adalah pagelaran yang dilakukan dalam
rangka merawat kesenian tradisional nenek moyang dan tidak seperti biasanya
malam ini akan ada ‘tamu’ kehormatan dari Jakarta. Hebat khan?! Padahal rumah
orang tua saya persis berada di seberang yang punya hajat, sudah kami tempati
sedari saya SMP! Namun karena sejak SMA saya sudah ‘minggat’ dari desa hingga
setua ini, saya sepertinya tidak lagi dianggap orang kampung sini?! Hahaha!
Tetapi tidak apa-apa, karena saya sangat memahami maksud Mbah Mismun saat itu
adalah sedang melucu, membuat guyonan. Karena semua orang yang hadir tentu saja
sangat memahami saya adalah anak kampung sini juga, tetapi memang sangat jarang
di rumah. Pak RW, Pak Suwardi juga naik ke panggung dan memberikan sambutan
yang intinya adalah mari kita jaga bersama ketertiban. Hal yang memang harus
selalu disampaikan ketika tercipta kerumunan massa. Karena memang wilayah kami sedari
dulu terkenal ‘panas’, meskipun kini telah jauh berbeda menjadi lebih harmonis.
Pada kedua momen ini, bersama dengan beberapa relawan WWI Region Malang Selatan
saya ngopi di dalam rumah yang punya
hajat sembari melihat persiapan para pemain kuda lumping dan menjalin
silaturahmi dengan para sesepuh paguyuban.
Sebenarnya tidak sesederhana deskripsi ini suasana sambutan
pagelaran kuda lumping. Yang pasti sambutan sebuah pagelaran kuda lumping
tidaklah sekaku seperti sebuah acara-acara formal seperti pernikahan dan
acara-acara desa lainnya. Suasananya lebih cair dan hangat, kita harus ingat
bahwa kuda lumping adalah seni tradisional yang sangat merakyat, meskipun
memang bahasa yang digunakan Mbah Mismun begitu halus, begitu keraton. Kendang
dan gamelan seringkali dimainkan untuk memperkaya suasana sambutan terutama di
jeda antar sambutan sehingga transisi antar sambutan begitu cantik. Tepat
ketika Pak RW selesai memberikan sambutan kendang dan gamelan menyambutnya dan
kemudian melalui pembawa acara Mbah Mismun, Turonggo
Margo Mulyo pun memulai pagelarannya. Saya sejujurnya tidak begitu memahami
bagian-bagian dari kesenian tradisional kuda lumping. Yang pasti yang pertama
dipentaskan adalah sekelompok penari yang ‘menaiki’ kuda kepangnya
masing-masing. Tentu saja suasana menjadi sangat hangat. Kendang demikian
rancak dimainkan begitu juga alat gamelan lainnya membentuk harmoni suara yang
sangat kaya dan kuat. Memang secara beat,
suara dari alat musik tradisional kuda lumping ada semacam pola pengulangan
yang terus menerus. Tetapi justru disinilah kekuatannya. Apalagi jika kita
memberi perhatian khusus pada suara kendangnya. Malahan menjadi terasa luar
biasa! Untuk memahami kekuatan seni rakyat bernama kuda lumping ini jika para
pembaca catatan ini kemudian menjadi penasaran, dapat misalnya melakukan studi
kecil-kecilan. Ada musisi hebat di negeri ini bernama Sawung Jabo yang mana ‘warna’
musiknya begitu terpengaruh dengan musik tradisional kesenian kuda lumping.
Dapat kita amati di grup band lama bernama Sirkus
Barock (album Jula-juli Anak Negeri) dan
Swami (album Swami I dan Swami II). Di kedua grup ini pengaruh Sawung Jabo
begitu kental (di band Swami
pengaruhnya tentu berimbang karena ada seorang bernama Iwan Fals).
Usai tarian sesi pertama yang diperagakan oleh sekelompok
penari kuda kepang yang terdiri dari adik-adik perempuan usia muda inilah
kemudian, tetiba, oleh Mbah Mismun saya kemudian didaulat untuk naik ke
panggung. Sebenarnya saya sudah ‘mencium’ tentang hal ini dan kepada para
relawan WWI Region Malang Selatan yang hadir malam itu, yang berkumpul di rumah
orang tua saya sembari ngopi, dan
memang panggung juga kelihatan jelas dari rumah kami, saya sudah menyampaikan
agar lebih baik jika misalnya nanti Wild Water Indonesia diberi sesi
sosialisasi, sebaiknya Mbah Ndoyo (48 th) yang naik panggung. Mewakili Wild
Water Indonesia dan WWI Region Malang Selatan. Rasanya terlalu berlebihan dan
menurut saya tidak baik jika setiap kali berbicara kepada public selalu saya
yang melakukannya. Padahal banyak sekali relawan Wild Water Indonesia
dimana-mana yang semuanya juga memahami visi misi jaringan kepedulian ini.
Tetapi memang rejeki tidak boleh ditolak. Hampir semua even yang saya hadiri,
saya ketiban sampur untuk berbicara
kepada audience yang hadir. Termasuk
ya di acara kuda lumping di seberang rumah saya ini! Jadi begitulah seperti
biasanya saya naik panggung, bersalaman dengan Mbah Mismun dan beberapa tokoh
paguyuban lainnya, mengambil mic dan
kemudian menyapa seluruh audience
dengan bahasa Jawa halus yang terbaik yang saya bisa. Dan saya mengenal hampir
90 % yang hadir karena memang selama SMP saya full tinggal di kampung ini!
Kampung Pat (Kampung Empat). Sebuah kampung kecil yang namanya diambil dari
empat rumah penunggu persil
(perkebunan karet ketika jaman colonial Belanda). Di antara kerumunan semua sedulur ini saya melihat adik perempuan
saya dengan keponakan kecil saya yang digendong, seseorang yang penting dari
benua yang jauh itu, budhe saya, bulik saya, pakdhe saya, paklik saya, dan lain
sebagainya termasuk kakek nenek saya!
Sebuah momen sederhana di kampung saya sendiri, tetapi
sejujurnya ini tidak pernah ada dalam bayangan saya selama hampir dua tahun
usia Wild water Indonesia! Bahwa saya akan berbicara kepada keluarga saya
sendiri tetapi jumlahnya sebanyak ini. Berkumpul dan bahkan masih di bawah
rintik hujan?! Tidak, saya tidak bermaksud membanggakan diri, tetapi ingin
mengungkapkan bahwa betapa berharganya momen ini bagi saya. Dan saya
memanjatkan syukur kepada-Nya untuk momen sederhana ini. Saya bagi mereka
adalah seorang bocah kecil hitam yang dahulu setiap hari berjalan kaki hampir
14 km jauhnya PP demi sekolah, dan kemudian usai sekolah selalu membantu kakek
mencari rumput untuk sapi-sapi peliharaan, kini berbicara tentang pelestarian
alam. Sudah begitu sebelum menyampaikan tentang pentingnya melestarikan alam,
Mbah Mismun mengenalkan sebagai “Wartawan dari Jakarta yang sangat peduli
lingkungan tetapi asli tumpah darah Karangrejo Utara (Kampung Empat merupakan
bagian dari Dusun Karangrejo Utara)” yang disambut tepuk tangan masyarakat. Menurut
saya ini berlebihan. Tetapi memang tidak ada yang salah dengan kalimat Mbah
Mismun itu. Hanya saja saya merasa tidak pantas diperkenalkan seperti itu. Saya
hanyalah orang biasa saja dan bahkan seseorang yang sedang dalam masa transisi
yang berat pasca bertekad meninggalkan keangkuhan dan tipu muslihat orang-orang
tertentu di Jakarta yang memaksa saya memilih untuk menepi sejenak meninggalkan
profesi jurnalis di sebuah perusahaan besar di ibukota.
Saya sudah tidak mampu menghitungnya sudah berapa banyak
berbicara kepada masyarakat baik dalam kelompok maupun kepada individu-individu
di berbagai daerah di negeri ini. Yang pasti rasanya ketika berbicara di depan
‘keluarga’ sendiri semuanya menjadi lebih sederhana, terasa lebih mudah. Saya
tidak perlu menjelaskan siapa diri saya karena semua masyarakat sangat mengenal
diri saya. Faktor bahasa misalnya juga bukan suatu soal meskipun saat itu
bahasa yang saya gunakan campur aduk; Indonesia, Jawa halus dan juga Jawa
kasar. Gambaran-gambaran yang saya berikan juga memang sangat mereka pahami
karena sehari-hari mereka hidup di pedesaan ini dan mengenal kampung ini
melebihi saya sendiri. Mereka memahami ketika saya menyebutkan bahwa ikan-ikan
lokal kita telah hampir punah dihantam setrum dan racun ikan. Juga sangat
memahami betapa waktu yang berlalu telah ‘memangsa’ beberapa sumber air yang
dahulunya melimpah airnya kini semakin susut saja debit airnya. Juga sangat
memahami bahwa di beberapa desa di pesisir selatan di wilayah ini di musim
kemarau harus membeli air sekedar untuk keperluan sehari-hari. Artinya mereka
kemudian sepakat bahwa kita sebagai manusia memang harus melakukan sesuatu
untuk memperbaiki semua ini. Saya mengajak, kepada seluruh audience agar mari kita mulai memikirkan alam di kampung ini. Jika
memang terkait ikan-ikan lokal yang sudah hampir punah dianggap tidak terlalu
penting untuk kepentingan seluruh masyarakat saat ini, masih ada sumber-sumber
air yang harus kita jaga agar dapat terus dimanfaatkan oleh generasi berikutnya
kelak. Tentu saja semua manusia memahami bahwa air adalah elemen vital sebuah
kehidupan tidak hanya untuk manusia. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti dan
mengada-ada, karena nyatanya di Malang Selatan ini termasuk di kampung saya
sendiri, semakin banyak saja sumber air yang ‘hilang’!
Saya harus berterima kasih kepada seluruh relawan WWI Region
Malang Selatan yang telah sejak September 2017 berkeliling seluruh penjuru
Malang Selatan untuk melakukan restocking (penebaran) ikan sidat/gateng di
sumber-sumber air. Setidaknya telah dilakukan di 19 sumber air dalam rangka
revitalisasi mata air. Mereka juga dengan berbagai cara menyebarkan pesan
tentang pelestarian lainnya terkait sungai, penghentian budaya negatif membuang
sampah non organik sembarangan, dan lain sebagainya. Sehingga, termasuk di
kampung saya sendiri, telah tercipta kesadaran awal untuk mulai melakukan
langkah kecil menjaga sungai, sumber air dan lain sebagainya. Sebenarnya bukan
karena dahulu masyarakat tidak melakukan cara-cara konservasi tradisional,
tetapi ada kecenderungan di masa ini terkait konsep-konsep konservasi
tradisional yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Misalnya saja, pesan
leluhur agar ikan gateng/sidat yang ada di mata air jangan diambil, nyatanya
malah ada yang mengambilnya secara terbuka dan kemudian mengkonsumsinya.
Padahal ikan gateng/sidat memiliki fungsi ekologis menjaga mata air?!
Kecenderungan melupakan cara konservasi tradisional warisan leluhur inilah yang
mengkhawatirkan sehingga kami (saya dan seluruh relawan WWI Region Malang
Selatan) kemudian memutuskan sejak semula, bahwa yang urgent untuk disosialisasikan adalah terkait pelestarian mata air.
Mungkin malam itu saya terlalu banyak berbicara. Sebagai
istilahnya ‘anak kemarin sore’ saya terlalu banyak berbicara kepada orang-orang
tua. Dan bahkan saya mungkin melebihi waktu bicara para tokoh masyarakat dan
perangkat kampung lainnya. Saya memang mungkin belum memberi sumbangsih berarti
untuk wilayah ini dalam bentuk yang diharapkan oleh masyarakat. Namun sebagai
seorang putra daerah setidaknya saya tidak takut untuk memulai dan terus
menjalani langkah kecil yang positif dan harapannya bermanfaat untuk seluruh
masyarakat nantinya. Dan meski saya adalah anak kemarin sore, saya tidak ragu
untuk mengajak kakek nenek budhe pakdhe bulik paklik dan semuanya untuk menjaga
lingkungan sekitar!!! Malam itu tentu saja bagi saya kemudian menjadi momen
yang istimewa dan mungkin tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya. Di
ujung sosialisasi tentang apa itu Wild Water Indonesia, WWI Region Malang
Selatan, apa itu visi dam misi kami, saya menutupnya tentu saja dengan terima
kasih atas kesempatan dan dukungannya. Tak lupa saya menyampaikan bahwa kami
bukanlah bagian dari partai politik dan juga bukanlah pekerja konservasi yang
merawat tanah air hanya setelah mendapatkan dana dari pihak tertentu. Di luar
itu mereka tidur?! Kami adalah relawan yang bahkan demi banner sosialisasi
pelestarian perairan, ikan lokal, dan lain sebagainya kami melakukan
saweran/patungan dana. Kami berjualan kaos untuk mencari dana, gelas, gantungan
kunci dan bahkan terkadang mengamen! Begitulah nyatanya demi kemurnian
cita-cita!
Di penghujung sosialisasi kami semua kemudian menutup sesi
sosialisasi dengan meneriakan bersama-sama salam lestari. Saya tidak bisa
melukiskan suasana haru dan juga syukur saat itu. Tidak pernah saya bayangkan
akan tercipta momen ‘besar’ seperti ini di depan rumah saya sendiri?! Bagi saya
pribadi, teriakan salam lestari di malam gerimis di depan panggung kuda lumping
malam itu adalah lecutan semangat yang tak ternilai. Terlalu berharga untuk
dinilai. Sayangnya saya tidak bisa mengikuti pagelaran kuda lumping hingga
selesai. Usai sesi barongan, sekitar
pukul 23.00 WIB, tepat ketika hujan kembali mendera kampung kecil ini, saya
bersama adik dan keponakan saya yang berusia 3,5 tahun, kembali meluncur menuju
kota Malang. Menembus pekatnya malam jalanan desa yang sebagian berlubang.
Seseorang yang penting dari benua yang jauh itu tampak kelelahan. Dia
memejamkan mata dan bersandar di jok belakang mobil berusaha untuk tidur. Esok
pagi dia akan terbang ke Bali dan akan kembali ke negerinya yang sangat jauh
dari kampung ini. Saya sangat memahami dia tidak terlalu memahami apa yang
terjadi malam ini. Tetapi saya masih mengingatnya, ketika saya turun dari
panggung kuda lumping itu, dari kerumunan masyarakat dia menoleh ke saya dan
kemudian mengacungkan jempolnya sembari tersenyum. Bibirnya sepertinya mengucap
dalam bahasa Inggris, good job! Saya semakin percaya bahwa saya, dan ribuan
relawan Wild Water Indonesia di seluruh penjuru negeri ini, sedang meniti jalan
terjal konservasi perairan yang baik yang manfaatnya untuk banyak orang! Salam
lestari!(Michael Risdianto/Malang
Selatan, 13 Januari 2018)
* Pictures captured by various person at East Java. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!
Comments
Tersedia :
» Judi Online Deposit Pakai Linkaja
» Judi Online Deposit Pakai Dana
» Judi Online Deposit Pakai Ovo
» Judi Online Deposit Pakai Gopay
» Judi Online Deposit Pakai Sakuku
» Judi Online Deposit Pakai Pulsa
» Judi Online Deposit Pakai Semua Jenis Rekening Bank Di Indonesia
Permainan Tersedia Cukup Lengkap :
• Sabung Ayam Online
• Sporstsbook / Judi Bola
• Casino Live
• Slot Online
• PokerVita
• Tangkasnet
• Tembak Ikan Online
Dan Masih Banyak Lainnya.
Daftar & Klaim Bonusnya Sekarang Juga !
Hubungi Kontak Resmi Kami Dibawah ini (Online 24 Jam Setiap Hari) :
» Nomor WhatsApp : 0812–2222–995